Duel Maut di Prambanan Klaten, Sosiolog: Siapapun Bisa Kalap Mata

Duel maut di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah pada Rabu (8/5/2024), menewaskan dua orang laki-laki. Satu orang tewas di tempat,

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
Tribun Jogja/Dewi Rukmini
Petugas kepolisian sedang melakukan olah TKP peristiwa duel maut di Desa Kebondaleman Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu (8/5/2024). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Duel maut di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah pada Rabu (8/5/2024), menewaskan dua orang laki-laki.

Satu orang tewas di tempat, satu lainnya meninggal dunia di RS Bhayangkara, Sleman, DI Yogyakarta.

Duel maut berdarah itu melibatkan tiga orang, seorang pengamen dan manusia silver.

Dua orang korban berinisial W dan S adalah pengamen yang menempati rumah indekos cukup jauh dari tempat kejadian perkara (TKP).

Sementara, terduga pelaku, B seringkali menjelma sebagai manusia silver yang menempati rumah indekos tepat di depan TKP.

Baca juga: Kejari Kulon Progo Musnahkan Barang Bukti Narkoba Hingga Miras dari Puluhan Perkara

Hingga hari ini, Kamis (9/5/2024), Polres Klaten masih menyelidiki identitas terduga pelaku dan motif duel maut tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Sosiolog Fakultas Ilmu Sosiologi dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Widya Mataram (UWM), Dr. Mukhijab MA menjelaskan, ada sebuah filosofi yang dipopulerkan Thomas Hobbes yang cukup kontekstual dengan apa yang terjadi di Klaten itu.

“Manusia adalah serigala bagi serigala lain atau homo homini lupus. Untuk memenuhi hajat atau kepentingannya, siapapun bisa kalap mata,” ucap Mukhijab kepada Tribun Jogja, Kamis (9/5/2024).

Dia mengungkap, setiap manusia bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia mau, termasuk melenyapkan nyawa atau saling membunuh satu sama lain.

Meski motif kasus di Klaten itu belum terkuak, menurut Mukhijab, kejadian brutal itu bisa saja terjadi karena kebutuhan perut.

“Kaum miskin, seperti pengamen, manusia silver, itu pasti menganggap uang Rp 100 sangat berharga karena bisa menyambung hidup esok hari,” jelasnya.

“Kenapa bisa kejam? Ya ketika sumber daya ekonomi sulit didapat, lalu ada sedikit saja uang pemberian, terus ada rival yang ingin merebut, maka itu jadi ancaman untuk kelanjutan hidupnya. Apapun caranya, harus ditempuh untuk mendapatkan apa yang dianggap haknya,” tutur dia lagi.

Menurut dia, pada tragedi tersebut, ada hukum jalanan yang berlaku. Siapa yang kuat di jalanan, dialah yang hidup.

“Negara sebagai raksasa atau leviathan, yang memiliki sumber daya ekonomi dan kuasa mendistribusikan dan mencegah rebutan atau hukum jalanan, seharusnya hadir di tengah kesulitan orang-orang mendapat akses ekonomi,” jelasnya lagi.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved