Jawaban Pakar HTN UGM Soal Kemungkinan Bergulirnya Hak Angket Setelah Putusan MK

Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan menolak seluruh gugatan terhadap hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Lantas, apakah hak angket

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM/Ardhike Indah
Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar menyampaikan pendapat tentang hak angket setelah MK memutuskan menolak gugatan terhadap Pilpres 2024, di FH UGM, Selasa (23/4/2024) 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan menolak seluruh gugatan terhadap hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Lantas, apakah hak angket masih bisa bergulir?

“Hak angket ini, problemnya ada di DPR. Bukan di kita, bukan di masyarakat sipil. Problemnya, untuk hak angket ini kan (diikuti) sekurang-kurangnya 25 anggota DPR dan dua fraksi. Syarat itu, ada gak?,” tanya Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar atau Uceng ditemui di FH UGM, Selasa (23/4/2024).

Diketahui, hak angket adalah hak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Prediksi Susunan Pemain Persik Kediri vs PSS Sleman, Super Elja Andalkan Ajak Riak yang Onfire

Uceng menilai, pesimisme terkait digulirkannya hak angket bukan tanpa sebab. Alasan utamanya adalah saat ini tidak banyak partai yang mau menjadi oposisi pemerintah.

“Untuk jadi hak angket itu kan partai harus oposisi. Padahal, sekarang jarang yang mau oposisi karena tidak mendapat keuntungan elektoral. Biasanya, partai yang jadi oposisi itu akan miskin dan tidak punya kekuasaan, itu yang bikin jadi malas,” kata dia.

Apalagi, saat ini, sudah berhembus kabar Partai Nasdem hampir pasti akan lompat menjadi koalisi pemerintah.

Dengan begitu, partai tersisa untuk menjadi oposisi adalah PKS.

“PKB? Kemungkinan masuk (koalisi) juga kan? DNA-nya begitu. Tinggal PKS dan mungkin juga PDI Perjuangan,” bebernya.

Meskipun PKS sudah bersatu dengan PDI Perjuangan untuk menjadi oposisi, menurutnya, juga belum terlalu kuat.

“Paling bagus, sistem presidensial itu, (kekuasaan) penguasa hanya 50-60 persen. Sedangkan, oposisinya mencapai 40 persen. Kalau sekarang, koalisinya 60-70 persen, super-big size malah sampai 82 persen,” jelas Uceng.

Ada Jaminan Elektoral

Oposisi menjadi kunci penting penyelenggaraan pemerintahan yang seimbang. Maka dari itu, Uceng mengusulkan, siapa yang mau menjadi oposisi, harus dipilih masyarakat.

“Saya mengusulkan, siapa yang mau oposisi pada pemerintahan, harus kita pilih calonnya di Pilkada dan menghukum partai-partai status quo agar ada keuntungan elektoral dan keuntungan finansial. Pilihan itu bisa melindungi oposisi,” tuturnya.

“Zaman sekarang, awalnya teriak oposisi, begitu ditawari kursi menteri, pada belok semua. Itu yang mengesalkan dari politik kita. Setelah melipir (jadi menteri), publik didorong-dorong menjadi oposisi. Enak saja. Istilahnya sih, mereka mau dapat nangkanya, tapi tidak mau dapat getahnya,” ungkap Uceng lagi.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved