Berita DI Yogyakarta Hari Ini

Kuatkan Kekhasan Ekraf Desa Wisata di Kota Yogya, Dinpar DIY Gelar Workshop Unique Selling Point

Workshop tersebut diharapkan dapat memantik inovasi pelaku ekraf di Kota Yogyakarta dan menemukan unique selling point. 

Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Gaya Lufityanti
Tribunjogja.com/Christi Mahatma
Suasana workshop Unique Selling Point bagi pelaku ekonomi kreatif di kampung wisata di Omah Glagahsari Homestay, Rabu (13/12/2023). 

Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Ekonomi kreatif menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari destinasi wisata, termasuk kampung wisata .

Untuk itu, Dinas Pariwisata DIY memberikan workshop unique selling point pelaku ekonomi kreatif di Kota Yogyakarta

Analisis Kebijakan Ekonomi Kreatif Dinas Pariwisata DIY, Ellya Shari mengatakan ada 17 subsektor ekonomi kreatif di DIY.

Namun saat ini masih didominasi kriya, fesyen, dan kuliner. 

Ia menyebut ekraf sangat mendukung pariwisata di DIY sehingga diperlukan kekhasan dan keunikan dari sebuah produk ekraf. 

"Setiap tempat (destinasi wisata) pasti punya keunikannya, bisa dari tempatnya atau souvenirnya. Kalau di Kota Yogyakarta kan lebih ke wisata budaya, ekrafnya, bisa jadi oleh-oleh. Harapannya setiap desa wisata di  atau bahkan setiap kelurahan di Kota Yogyakarta punya keunikan masing-masing," katanya, Rabu (13/12/2023). 

Ellya melanjutkan pelaku ekraf yang mengikuti workshop adalah pelaku yang masih dalam tahap awal.

Sehingga workshop tersebut diharapkan memantik inovasi pelaku ekraf di Kota Yogyakarta dan menemukan unique selling point. 

Baca juga: Dinpar DIY Dorong Fotografer, Videografer dan Pelaku Ekraf Perlihatkan Wisata Yogya yang Wonderful

Di sisi lain, pihaknya juga mendorong legalitas dan berbagai sertifikasi pendukung, seperti NIB, PIRT, bahkan HAKI. 

"Perkembangan teknologi ini juga harus diikuti oleh pelaku ekonomi kreatif. Jadi nantinya pemasaran tidak hanya melalui status WA saja, dan cuma dibeli sama tetangga. Tetapi harus go digital, masuk ke marketplace, sehingga pasar lebih luas,"lanjutnya. 

Anggota Komisi B DPRD DIY, R.B. Dwi Wahyu B sepakat digitalisasi juga diperlukan.

Pasalnya saat ini produk ekonomi kreatif di DIY juga harus dikenali oleh sistem, sehingga bisa menjangkau pasar yang lebih luas. 

"Sekarang itu harus punya izin, memenuhi standar produk, packaging, tetapi juga harus dikenal sistem. Misal untuk kegiatan workshop seperti ini, butuh konsumsi, kalau produk sudah dikenal sistem, tentu bisa dibeli. Bahkan bisa dikenal secara lebih luas, tidak hanya di DIY saja. Jadi nggak perlu khawatir nggak punya toko, pakai toko online kan bisa," terangnya. 

Sayangnya transformasi digital bagi pelaku ekraf tidak mudah.

Sebab didominasi oleh pra lansia dan lansia.

Untuk itu diperlukan kolaborasi dengan generasi muda, khususnya dalam hal pemasaran digital. 

Dwi juga menyoroti pentingnya HAKI.

Menurut dia, saat ini dunia bisnis sangat terbuka, sehingga siapapun bisa melakukan bisnis.

Dengan memiliki HAKI, maka brand pelaku ekonomi kreatif bisa terlindungi. 

"Jadi nanti tidak ditiru. Misalnya ada suatu produk, kemudian nanti ditiru oleh orang lain, dengan harga yang lebih murah. Tentu produk aslinya malah tergilas. Makanya penting juga memiliki HAKI," ujarnya. 

Dosen STIE YKPN Yogyakarta, Bianka Andriyan, S.E., M.M mengungkapkan unique selling point merupakan keunggulan sehingga pelaku usaha dapat menghasilkan produk dan layanan yang punya ciri khas dan berdaya saing.

Keunikan tersebut harus dimiliki pelaku ekraf sebab menjadi support system bagi keberlangsungan destinasi wisata, dalam hal ini desa wisata

"Jadi tidak hanya produknya, tetapi layanannya juga harus punya kekhasan. Inovasi layanan juga diperlukan, misalnya dengan digitalisasi pembayaran, agar pembeli mudah dalam bertransaksi,"ungkapnya. 

Untuk menemukan unique selling point, pelaku usaha harus merefleksikan kualitas produk hingga standar keamanan produk.

Setelah itu dibutuhkan komitmen kuat agar konsisten dalam berproduksi.

Menurut dia, komitmen dan konsistensi dalam produksi menjadi salah satu kendala pelaku ekraf, terutama yang sedang merintis. 

"Setelah itu melihat pasar, pasar yang dituju itu siapa, segemen pasarnya harus jelas. Misal bakpia, dari packaging sudah, kualitas sudah, nah perlu inovasi. Misalnya sasaran lansia, bisa nggak kalau kombinasi dua kacang, kacang ijo sama kacang merah. Atau menyasar anak muda, kalau pakai mozarella bisa nggak," paparnya. 

"Kemudian benchmarking, selama ini bakpia hanya sebagai oleh-oleh. Bisa nggak kalau kemudian jadi hampers Natal misalnya, jadi hadiah, dan lainnya. Memang jiwa wirausaha itu harus ditumbuhkan, sehingga mau terus konsisten produksi dan berinovasi,"imbuhnya. ( ADV ) 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved