Berita Jogja Hari Ini

MPBI DIY Tolak PP 51 Tahun 2023 sebagai Dasar Penetapan UMP, Ini Alasannya

Pemda DIY akan mengumumkan secara resmi upah minimum provinsi (UMP) DI Yogyakarta tahun 2024, Selasa (21/11/2023). Sekadar informasi, UMP DI Yogyakart

Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Kurniatul Hidayah
dok.istimewa
Ilustrasi upah atau gaji 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pemda DIY akan mengumumkan secara resmi upah minimum provinsi (UMP) DI Yogyakarta tahun 2024, Selasa (21/11/2023).

Sekadar informasi, UMP DI Yogyakarta pada tahun 2023 sebesar Rp 1.981.782,32 atau naik 7,65 persen dari tahun 2022.

Sementara untuk tahun 2024, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) memastikan bakal menaikkan upah minimum 2024 sebagai bentuk apresiasi kepada pekerja dan buruh.

Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan pada 10 November 2023.

Baca juga: Lima Mahasiswa UGM Ciptakan Alat Pendeteksi Stunting Teknologi AI, Butuh 5 Detik Cek Kondisi Bayi

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah mengatakan, kepastian kenaikan upah minimum mengacu pada perhitungan upah minimum baru yang mencakup 3 variabel, yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.

Terkait hal tersebut, Ketua Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Irsad Ade Irawan menegaskan bahwa MBPI DIY menolak PP 51/2023 sebagai dasar penetapan ump DIY 2024.

"Alasannya, PP 51/2023 tidak menggunakan survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Dengan demikian, penggunaan PP ini akan membuat buruh kembali mengalami defisit ekonomi, di mana upah minimum lebih rendah dari harga kebutuhan hidup layak," ujar Irsad.

Menurutnya, apabila tetap menggunakan PP 51/2023, kebijakan pengupahan di DIY masih berorientasi upah murah. Sebagaimana diketahui pasal-pasal dalam PP tersebut menghambat kenaikan upah minimum.

Misalnya, Pasal 26 Ayat (9), di mana jika nilai penyesuaian upah minimum lebih kecil atau sama dengan 0, upah minimum yang ditetapkan akan sama dengan nilai Upah minimum tahun berjalan.

"Dan Pasal 26A Ayat (5) juga memberikan opsi ketika pertumbuhan ekonomi bernilai negatif, nilai upah minimum tahun berikutnya ditetapkan sama dengan nilai upah minimum tahun berjalan. Frasa "ditetapkan sama dengan nilai upah minimum tahun berjalan" berarti tidak ada kenaikan upah minimum. Selain menimbulkan potensi tidak ada kenaikan upah minimum, PP ini juga akan memangkas kenaikan upah minimum, atau kenaikan upah minimum hanya sedikit saja," bebernya.

Lebih lanjut, dalam Pasal 26 ayat (6) PP tersebut, indeks tertentu merupakan variabel yang berada dalam rentang nilai 0,10 sampai dengan 0,30. Variabel indeks tertentu inilah yang memastikan bahwa kenaikan upah minimum pasti tidak akan signifikan.

Apabila PP ini tetap dipaksakan, lanjut Irsad, maka akan semakin menunjukkan adanya sifat monopoli pemerintah dalam penetapan upah.

Karena pemerintah telah secara monopoli menetapkan interval indeks di 0,10-0,30. Sehingga ruang dialog dan kesepakatan hanya dibatasi pada interval tersebut.

Interval indeks ini tidak berpengaruh signifikan terhadap kenaikan upah.

Melainkan cenderung menjadi salah satu faktor untuk menurunkan persentase kenaikan upah, karena variabel indeks tersebut hanya dalam rentang 0,10-0,30 dan dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi.

"Sangat disayangkan jika Provinsi yang menyandang predikat istimewa ini tidak mempunyai alternatif terhadap PP ini. Karena PP 51/2023 hanyalah peraturan yang rumit tapi tidak berpengaruh besar terhadap perlindungan upah buruh melalui upah minimum," ujarnya.

"Selain itu, jika Pemda DIY tetap menggunakan PP 51/2023, buruh akan kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidup layak, termasuk memenuhi makanan bergizi. Daya beli buruh tidak akan naik, justru akan cenderung merosot apabila kenaikan upah terlalu rendah dan harga-harga melambung tinggi. Selanjutnya, buruh di Yogyakarta akan kembali kesulitan membeli rumah layak karena harga rumah selalu naik tinggi sementara upah tidak pernah naik signifikan. Secara umum, buruh akan kembali menelan pil pahit upah murah yang menyebabkan besar pasak daripada tiang," tegasnya.

MPBI DIY lanjut Irsad, menuntut Gubernur DIY menetapkan UMK 2024 Kota Yogyakarta sebesar Rp. 4.131.970, Sleman Rp. 4.099.637, Bantul Rp. 3.708.600, Kulonprogo Rp 3.590.617, dan Gunungkidul Rp. 3.169.966.

"Di samping itu, Gubernur DIY tidak menggunakan UU Cipta Kerja dan turunannya dalam penetapan UMK se-DIY 2024 serta mengalokasikan lebih banyak APBD dan Danais untuk program-program kesejahteraan masyarakat," ujarnya.

"Gubernur DIY segera menetapkan dan membagikan sebagian tanah SG dan PAG untuk Perumahan Buruh. Serta, Gubernur DIY membuat program untuk program penguatan koperasi," tandasnya. (Han)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved