Harga BBM Non Subsidi Naik, Pengamat Ekonomi Energi UGM: Picu Migrasi Konsumen
PT Pertamina (Persero) kembali melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi mulai Minggu (1/10/2023).
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM - PT Pertamina (Persero) kembali melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi mulai Minggu (1/10/2023).
Untuk harga BBM jenis gasoil Dexlite (CN 51) mengalami penyesuaian naik harga menjadi Rp 17.200 dan Pertamina Dex (CN 53) disesuaikan menjadi Rp 17.900.
Sementara itu, harga BBM jenis gasoline mengalami penyesuaian harga yakni Rp 16.600 untuk Pertamax Turbo (RON 98), Rp 16.000 untuk Pertamax Green E5 (RON 95) dan Rp 14.000 untuk Pertamax (RON 92).
Baca juga: MPBI DIY Tolak Putusan MK Yang Mengesahkan Perppu Cipta Kerja Jadi Undang-Undang
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Fahmy Radhi, MBA, menilai kenaikkan harga BBM non-subsidi itu memang menjadi keniscayaan bagi Pertamina.
Pasalnya, penetapan harga BBM non-subsidi ditentukan berdasarkan mekanisme pasar.
Dijelaskannya, variabel utama penetapan harga BBM non-subsidi adalah harga minyak dunia, yang saat ini membumbung tinggi hingga mencapai US$ 95,31 per barrel.
Kendati harga minyak dunia mendekati US$ 100 per barrel, Pemerintah bersikukuh tidak menaikkan harga BBM subsidi, Pertalite dan Solar.
"Meroketnya harga BBM non-subsidi itu sesungguhnya tidak secara signifikan memicu kenaikan inflasi, yang menurunkan daya beli masyarakat. Alasannya, proporsi konsumen BBM non-subsidi relatif kecil, hanya sekitar 11,5 persen dari total pengguna BBM, yang umumnya konsumen kelas menengah ke atas," kata Fahmy.
"Hanya, kenaikkan harga tersebut memperbesar disparitas harga BBM non-subsidi dengan harga BBM subsidi. Disparitas harga itu akan memicu gelombang migrasi kosumen Pertamax ke Pertalite. Migrasi tersebut berpotensi menjebolkan kuota Pertalite, yang akan memperberat beban APBN dalam pemberian subsidi BBM," tambahnya.
Untuk mencegah migrasi dari Pertamax ke Pertalite, lanjut Fahmy, pemerintah bisa menaikkan harga Pertalite untuk memperkecil disparitas antara harga Pertamax dengan harga Pertalite.
"Dengan disparitas harga yang tidak menganga, kosumen Pertamax akan berfikir ulang untuk migrasi ke Pertalite. Resikonya, kenaikkan harga BBM subsidi akan memicu kenaikkan inflasi yang menurunkan daya beli masyarakat," jelasnya.
Dengan resiko tersebut, Presiden Joko Widodo diperkirakan tidak akan pernah menaikkan harga BBM subsidi di tahun politik. Alternatifnya, pemerintah harus melakukkan pembatasan penggunaan BBM subsidi dengan mekanisme yang bisa diterapkan (applicable).
Mekanisme pembatasan itu dengan menetapkan dalam Perpres bahwa konsumen BBM Subsidi adalah konsumen pemilik sepeda motor dan kendaraan angkutan penumpang dan barang. (Han)
Ekonom UGM tentang Kopdes Merah Putih: Prinsip Koperasi Tidak Hanya di Atas Kertas |
![]() |
---|
Gugatan kepada Rektor UGM Soal Ijazah Jokowi Gugur di PN Sleman, Ini Alasannya |
![]() |
---|
UGM Tertinggi! Ini 10 Universitas Terbaik di Jogja Menurut Webometrics 2025 |
![]() |
---|
Lebih dari 10 Ribu Mahasiswa Baru UGM Ikuti PIONIR 2025, Rektor: Ruang Awal Bentuk Karakter |
![]() |
---|
Lestarikan Ekosistem Bawah Laut Sumbar, Mahasiswa KKN UGM Tanam Terumbu Karang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.