Kerusuhan di Jalan Tamansiswa

Mengenal PSHT, Organisasi Silat yang Lahir di Madiun

Pada 1948, dalam sebuah kongres di Madiun, berubah bentuk menjadi sebuah organisasi dan bernama Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT).

|
Penulis: Hari Susmayanti | Editor: Hari Susmayanti
shterate.or.id
Sejarah Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) 

TRIBUNJOGJA.COM - Organisasi silat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) tengah ramai dibicarakan setelah terlibat bentrok di Jalan Tamansiswa, Yogyakarta pada Minggu (4/6/2023) malam.

Kerusuhan di Jalan Tamansiswa berawal dari Jalan Kenari, Kelurahan Muja Muju, Kemantren Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Minggu (4/6/2023) sore, sekira pukul 16.00.

Kerusuhan meluas hingga ke Jalan Tamansiswa Yogyakarta.

Menurut informasi yang didapatkan Tribunjogja.com, kerusuhan dipicu oleh keributan pada Minggu (28/5/2023), di Parangtritis, Kalurahan Kretek, Kapanewon Kretek, Kabupaten Bantul.

Kemudian, Minggu (4/6/2023) sore, sekira pukul 17.00, di Jalan Kenari datang rombongan berjumlah ratusan orang untuk menindaklanjuti permasalahan yang terjadi di Parangtritis.

Massa pun diadang oleh jajaran kepolisian dari Polsek Umbulharjo, Polresta Yogyakarta, Satuan Brimob Polda DIY, serta personel Koramil 0734/07 Umbulharjo agar tidak terjadi bentrok.

Pukul 17.30 WIB, massa diarahkan keluar dari wilayah Jalan Kenari untuk mencegah keributan. Lalu, pukul 17.46 WIB, massa didorong oleh pihak keamanan ke arah Jalan Kusumanegara.

Pukul 18.15 WIB, massa didorong ke arah Jalan Tamansiswa. Pukul 18.55 WIB, massa kemudian diarahkan putar balik ke arah utara Jalan Tamansiswa guna menghindari bentrok.

Hingga Minggu (4/6/2023) malam, pukul 20.42, suasana di Jalan Tamansiswa masih mencekam. Kapolda DIY, Irjen Pol Suwondo Nainggolan, sudah datang untuk menenangkan massa.

Kapolda DIY Irjen Pol Suwondo Nainggolan mendamaikan dua kelompok yang bentrok di Jalan Tamansiswa, Kota Yogyakarta.

Kedua kelompok yakni suporter bola PSIM Yogyakarta Brajamusti dan Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) menyatakan sikap damai dengan didampingi Kapolda DIY pada Senin (5/6/2023) dini hari.

Kedua pucuk pimpinan PHST dan Brajamusti mengakui kerusuhan itu merupakan buntut dari persitiwa perkelahian di kawasan Pantai Parangtritis pada 28 Mei 2023.

"Kami sesalkan kejadian di kawasan Pantai Parangtritis pada 28 Mei lalu, kasus itu sudah ditangani kepolisian dan ditangani sesuai proses hukum berlaku," kata Presiden Brajamusti Muslich Burhanuddin, didampingi Kapolda DIY.

Diketahui peristiwa 28 Mei 2023 berawal dari keributan yang melibatkan anggota di Vila Rangdo Parangdok, Parangtritis Bantul. 

Dalam peristiwa itu dikabarkan seorang anggota PSHT terluka ketika mencoba melerai keributan itu dan akhirnya berbuntut panjang.

"Kami meminta semua pihak menjaga kondusivitas di Yogyakarta," sambung Burhanuddin 

Sementara Ketua Cabang PSHT Yogyakarta Sutopan Basuki mengatakan pihaknya juga menyesalkan kejadian pada 28 Mei di Parangtritis.

"Kami juga menyesalkan peristiwa (keributan) yang terjadi pada Minggu petang, kami minta semua pihak menahan diri dan menjaga kondusivitas di Yogyakarta," kata Basuki.

Basuki mengatakan banyak anggota PSHT yang juga anggota Brajamusti dan begitu pula sebaliknya.

"Jadi Brajamusti dan PSHT itu sebenarnya satu," kata Basuki.

Baca juga: BREAKING NEWS : Kapolda DIY Damaikan Dua Kelompok yang Bentrok di Jalan Tamansiswa Jogja

Baca juga: Tangis Histeris Seorang Wanita dalam Kerusuhan di Jalan Tamansiswa

Baca juga: Mengenal Pendopo Tamansiswa, Bangunan Bersejarah yang Rusak Akibat Bentrokan pada Minggu Malam

Berikut sejarah singkat PSHT

Dikutip dari shterate.or.id, peletak dasar pertama pendirian PSHT adalah Muhamad Masdan.

Dia adalah putra sulung Ki Ngabei Soeromihardjo, seorang mantri cacar di daerah Ngimbang, Jombang.

Dia bersepupu dengan RAA Soeronegoro (Bupati Kediri saat itu) dan Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirdjo memiliki garis silsilah dengan Betoro Katong yang merupakan pendiri kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

Muhammad Masdan yang bernama Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo atau  warga PSHT menyebutnya dengan panggilan Mbah Suro atau Eyang Suro, menamatkan sekolah rakyat pada 1890.

Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo kemudian diasuh pamanya, Wedono di Wonokromo, Surabaya.

Ia sempat mengenyam pendidikan di pondok pesantren Tebu Ireng Jombang.

Dari sini, ia mulai mengasah bela diri pencak silat, sebelum pindah ke Parahiyangan, Bandung pada 1892.

Di Parahiyangan, kemampuan bela dirinya semakin matang karena dia juga mempelajari aliran pencak silat lainnya.

Sejak itu, Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo berpindah-pindah ke berbagai tempat, seperti Jakarta, Lampung, Padang dan Aceh.

Ia berguru dengan tokoh silat dan mendalami berbagai aliran pencak silat di setiap tempat yang ia singgahi, sebelum kembali ke Surabaya pada 1902.

Pada 1902 Ki Ageng Soerodiwirdjo bekerja di Kampung Tambak Gringsing, Surabaya sebagai anggota polisi berpangkat mayor polisi.

Tahun 1903 ia mendirikan perkumpulan bernama ‘Sedulur Tunggal Kecer”. Sedangkan pencak silatnya bernama “Joyo Gendelo Tjipto Muljo”.

Lalu pada 1917, Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo mendirikan perguruan Persaudaraan Setia Hati (PSH) di desa Winongo, Madiun, Jawa Timur.

‘Sedulur Tunggal Kecer” diganti dengan “persaudaraan”.

PSH bertujuan mengikat rasa persaudaraan antar warga PSH, sekaligus membentuk rasa nasionalisme yang saat itu Indonesia masih dijajah Belanda.

Ki Ageng Ngabei Soerodiwirdjo wafat pada hari Jum`at, 10 November 1944 dan di makamkan di Desa Winongo, Madiun dalam usia 68 tahun.

Lahir PSHT

Ki Hadjar Hardjo Oetomo adalah tokoh pergerakan kemerdekaan. Atas jasanya dalam pergerkan kemerdekaan itu, negara menganugerahkannya sebagai pahlawan perintis kemerdekaan.

Saat didirikan, organisasi ini semula tidak langsung menggunakan nama PSHT, tetapi bernama Setia Hati Pencak Sport Club (SH PSC).

Setelah itu, nama organisasi siubah menjadi Persaudaraan Setia Hati 'Pemuda Sport Club' dan dalam kongres pertama di Madiun pada tahun 1948, organisasi ini berubah menjadi Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT).

Ki Hadjar Hardjo Oetomo merupakan sosok yang berani melawan tentara Belanda.

Ia bersama teman-temannya kerap melakukan perhadaran, pelemparan, dan perusakan terhadap kereta api yang lewat membawa tentara Belanda atau mengangkut perbekalan militer.

Atas aksi tersebut, Hardjo Oetomo akhirnya ditangkap dan dipenjara di Cipinang.

Tak hanya itu, Hardjo Oetomo juga dipindahkan ke Padang, Sumatera Barat, sampai 15 tahun lamanya.

SH PSC sempat dibubarkan oleh Belanda karena terdapat kata Pencak dalam namanya.

Setelah itu, kata Pencak diganti menjadi 'Pemuda' yang dimaksudkan untuk mengelabui Belanda agar tidak dibubarkan lagi.

Pada tahun ahun 1942, atas usul saudara SH PSC, Soeratno Soerengpati tokoh pergerakan Indonesia Muda, nama SH Pemuda Sport Club diubah menjadi Setia Hati Terate.

Pada waktu itu, SH Terate bersifat perguruan tanpa organisasi dan baru pada 1948, dalam sebuah kongres di Madiun, berubah bentuk menjadi sebuah organisasi dan bernama Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT).

Silsilah Pimpinan PSHT

PSHT adalah organisasi persaudaraan, yang didirikan pada tahun 1922 yang berkedudukan dan berpusat di Madiun.

Sebelum diubah bentuknya dari perguruan menjadi organisasi, PSHT dipimpin oleh Ki Hadjar Harjo Oetomo dari tahun 1922 s/d 1948.

Setelah menjadi organisasi, PSHT dipimpin oleh Ketua Umum sebagai berikut:

Soetomo Mangkoedjojo, 1948 sd 1956;
Irsad, 1956 sd 1958;
Santoso, 1958 sd 1966;
RM Soetomo Mangkoedjojo, 1966 sd 1974;
RM Imam Koessoepangat, 1974 sd 1977
Badini, 1977 sd 1981;
Tarmadji Budi Harsono, 1981 sd 2014
Richard Simorangkir, (Plt) 2014 sd 2014
Arif Suryono (Plt), 2014 sd 2016
Muhammad Taufik, 2016 sd 2017
Moerdjoko HW, 2017 sd sekarang.

 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved