Berita Sleman Hari Ini
Cerita Pilu Korban Iming-iming Investasi Hunian yang Dibangun di Tanah Kas Desa di Sleman
Para korban, yang kini mengadu di Posko Pengaduan Konsumen korban Penyalahgunaan Tanah Kas Desa di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum,
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Iming-iming investasi hunian di atas tanah kas desa di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam beberapa waktu terakhir santer menuai polemik.
Korbannya berjumlah ratusan orang dari pelbagai daerah di Indonesia, termasuk warga di Yogyakarta itu sendiri.
Para korban, yang kini mengadu di Posko Pengaduan Konsumen korban Penyalahgunaan Tanah Kas Desa di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum, Universitas Proklamasi 45 (LKBH UP45) Yogyakarta menyisakan cerita haru.
"Kami membantu masyarakat yang terdzolimi. Banyak cerita mengharukan di balik ini. Ada yang ingin merayakan honeymoon ulang tahun pernikahan ke-30 tidak jadi, karena istrinya meninggal dunia. Ada suami istri, sepuluh tahun mengumpulkan uang, seorang karyawati Transmart (perusahaan ritel)," kata Direktur LKBH UP45, Philip Josep Leatemia, Sabtu (27/5/2023).
Karena sebab itu, pihaknya membuka Posko pengaduan untuk mendampingi sekaligus membantu para korban yang merasa tertipu.
Sejauh ini, seminggu posko dibuka, sudah ada lebih kurang 200 orang yang mengadu.
Ratusan korban yang mengadu tersebut dari beberapa perumahan yang tersebar di wilayah Kalurahan Caturtunggal, Maguwoharjo, Condongcatur dan Candibinangun.
Philip mengatakan, berdasarkan informasi yang diterima, persoalan tanah kas desa hampir serupa ini bukan hanya ada di empat Kalurahan saja melainkan diduga terjadi di 25 Kalurahan.
Terduga pelaku bukan hanya satu orang pengembang yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka di Kejati DIY melainkan ada dugaan pelaku lainnya. Ia mengaku akan mencoba menelusuri hal tersebut.
"Saya juga menerima pemberitahuan bahwa aset dari orang (terduga pelaku) ini masih ada. Kami akan coba lacak. Nanti akan kami serahkan kepada yang bersangkutan atau akan menjadi penggantirugian dari apa yang diperbuat pengembang ini," katanya.
Sebagaimana diketahui, ratusan orang yang terjerat investasi tersebut mayoritas karena tergiur dengan harga murah yang ditawarkan marketing.
Apalagi, dari pengakuan korban, marketing mampu meyakinkan legalitas dan kontrak perpanjangan perikatan hingga tiga kali dengan durasi 20 tahun per sekali kontrak.
Putra, Juru Bicara korban investasi hunian di Jogja Eco Wisata (JEW) di Candibinangun, Pakem berujar, di JEW yang sekarang menjadi Jogja Tourism Center terdapat 7 klaster.
Terdiri dari Ruko dan Vila. Luas tanah 22 hektar dan 20 hektar di antaranya digunakan untuk Vila. Marketing diduga menawarkan investasi Vila sebagai Hak Pengelolaan (HPL) dan dijanjikan juga bisa mendapatkan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Durasi investasi Vila selama 20 tahun sejak ditandatanganinya Surat Perjanjian Investasi (SPI) dengan ketentuan perikatan bisa diperpanjang selama tiga kali sehingga totalnya 60 tahun.
Ada banyak orang yang menjadi korban investasi tersebut.
"Kalau untuk kerugian yang telah masuk ke Paguyuban 110 orang. Estimasi yang terdata sekitar Rp 30 miliar," kata Putra.
Jumlah tersebut yang sementara ini terdata. Putra memperkirakan masih banyak korban yang belum tercatat. Pasalnya, yang ditawarkan pihak marketing maupun jika melihat dari master-plan jumlahnya diperkirakan ada 972 unit Vila dan dari jumlah tersebut dari bahasa Marketing sudah closing unit sehingga diasumsikan semuanya sudah laku terjual. Ia memperkirakan jumlah korbannya mungkin bisa jadi lebih banyak lagi.
"Kalau kami ambil estimasi Rp 200 juta per unit (di kalikan 972 unit) maka ketemu angkanya sekitar 194,4 miliar. Kalau data yang sudah masuk ke kami (estimasi kerugian) Rp 30 miliar," kata dia.
Putra mengungkapkan, dari 972 unit yang sudah serah terima ke konsumen baru 30 persen dan sudah dihuni. Sedangkan unit lain masih berupa kapling tanah dan sebagian lainnya mangkrak. Lokasi Jogja Eco Wisata di Kalurahan Candibinangun Pakem ini masuk dalam pusaran Mafia Tanah Kas Desa yang menjerat seorang pengembang berinisial R yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY. Sejauh ini belum ada penyegelan karena perkaranya masih berproses.
Putra bersama paguyuban korban lainnya berkeinginan investasinya di JEW bisa memiliki legalitas. Jika pada akhirnya nanti dianggap ilegal, maka Ia berharap ada restitusi atau ganti kerugian kepada korban sesuai nominal yang telah dibayarkan. Ia mengaku tergiur berinvetasi di tanah kas desa tersebut karena diiming-imingi Surat Perjanjian Investasi dari marketing maupun notaris yang mencantumkan satu pasal yang intinya bisa menjamin legalitas.
Ia merasa yakin berinvetasi karena ada surat izin menyewa TKD dari Pemerintah Kalurahan Candibinangun tanggal 4 Juli 2012 dan izin lokasi dari SK Bupati tanggal 2 Mei 2012. Hal tersebut dikuatkan juga dengan SK Gubernur tertanggal 24 Mei 2012. Kemudian ada izin lokasi dari BPN Sleman dan IMB dari DPUPKP pada Desember tahun 2013. Bahkan dilengkapi juga dengan izin sewa TKD dari pihak JEW tersebut untuk membangun Jogja Eco Park di atas TKD yang didalamnya meliputi Tanah Kapling pembangunan resort.
"Itu yang kami jadikan acuan waktu (mengambil) inventasi di situ. Jadi ada kata-kata, didalamnya meliputi juga tanah kapling membangun resort," katanya.
Kerugian juga dialami Edwin Afandi. Ia adalah konsumen Avanti Vila yang berlokasi di Kalurahan Caturtunggal. Menurut dia, total unit yang ditawarkan Avanti Vila ada 58 unit. Sejauh ini, informasi yang diterima sudah 23 unit yang terjual, 8 sudah terbangun namun semuanya belum ada yang serah terima. Meksipun sebagian konsumen sudah membayar. Ada yang cash keras dan ada pula yang membayar bertahap 50 persen.
"Saya sudah bayar 50 Persen dengan nominal Rp 190 juta. Beberapa teman bahkan ada yang cash keras," katanya.
Afandi membeli hunian di atas TKD Caturtunggal itu pada Februari 2023 lalu. Meskipun sudah membayar hingga 50 persen namun hunian belum dibangun sama sekali hingga akhirnya ditutup karena belum ada izin dan dianggap melanggar Pergub nomor 34 tahun 2017. Saat penutupan proyek hunian tersebut dirinya bahkan tidak mendapat Informasi dari manajemen pengembang. Ia justru mendapat informasi penutupan saat meninjau lokasi proyek yang ternyata sudah ditutup.
"Saya tahu ditutup karena saya main untuk melihat progres pembangunan tapi ternyata sudah ditutup menggunakan banner.
Saat ini masih ditutup banner dan ketika saya ingin tahu selalu dilempar-lempar. Saya hanya bisa berkomunikasi dengan humas dan humas menjanjikan 2-3 bulan kedepan baru ada jawaban menunggu proses di Kejati," terang Afandi. Ia memperkirakan total kerugian korban investasi di Avanti tersebut senilai Rp 4 miliar. Sejauh ini dari 23 korban dirinya mengaku baru bisa mengumpulkan 10 orang dan mayoritas korban berada di luar kota Yogyakarta.
Hampir serupa juga dialami Darno. Namun ceritanya sedikit berbeda dengan Putra maupun Afandi. Darno berinvetasi dalam bentuk tanah kapling di atas TKD di Nologaten, Caturtunggal. Ia membeli dua Kapling dengan luas masing-masing 111 meter dan 124 meter persegi seharga Rp 375 juta. Di atas tanah tersebut rencananya mau dibangun kos-kosan untuk jaminan pendapatan masa tuanya. Namun sayang, tanah tersebut tanpa dilengkapi sertifikat hanya sebatas perikatan investasi saja.
"Saya dijanjikan sama marketing kontraknya disitu 20 tahun dan bisa diperpanjang 3 kali sampai 60 tahun. (Setelah 60 tahun) nanti menjadi TKD lagi," kata Darno. Ia mengaku tertarik investasi karena merasa sudah tua, umurnya lebih dari 50 tahun. Harapannya bisa mendapatkan penghasilan dari tanah yang akan dibangun kos-kosan tersebut. Nantinya jika diusia 60 tahun dan dirinya meninggal dunia maka dianggap lunas. Rencana belum terealisasi, tanah tersebut justru bermasalah dan sedang disidik Kejati DIY.
Posko Aduan
Para korban tersebut hanya sebagian dari ratusan korban yang tercatat di Posko Pengaduan Konsumen Korban Penyalahgunaan Tanah Kas Desa ke Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum, Universitas Proklamasi 45 (LKBH UP45).
Pelaksana Lapangan LKBH UP45, Ana Riana mengatakan posko tersebut telah dibuka selama seminggu dan sudah ada 200 korban mengadu. Mereka yang mengadu merasa menjadi korban dari sejumlah pengembang perumahan, di antaranya Kandara, Nataya, Green Hills, Avanti dan Jogja Eko Wisata (JEW). Lokasinya tersebar di Kalurahan Caturtunggal, Maguwoharjo, Condongcatur dan Candibinangun.
"Hampir 200 orang yang sudah melaporkan ke kita dalam kurun waktu seminggu ini. Kita akan kerucutkan kemudian akan kami lanjutkan untuk melakukan langkah- langkah hukum. Setelah ini, kami akan mencoba mitigasi dulu, (berkomunikasi) baik-baik dengan pengembang. Jika tak ada itikad baik maka mau tidak mau kami akan melakukan upaya hukum. Baik perdata ataupun pidana," katanya.
Ratusan orang yang mengadu tersebut berasal dari pelbagai daerah. Ada yang dari Yogyakarta namun mayoritas luar kota Yogyakarta seperti Bandung, Jakarta, Kalimantan hingga ada juga dari Papua. Rata-rata mereka ditawari investasi dengan tawaran hak guna bangunan (HGB) dan bisa diperpanjang 20 tahun. Setelah perpanjangan ada juga yang diiming-imingi bisa menjadi hak milik yang diduga membuat banyak korban tergiur. (rif)
Puting Beliung Melanda Condongcatur Sleman, Sejumlah Rumah Warga Rusak |
![]() |
---|
Keterangan Polisi soal Kecelakaan Beruntun di Sleman Hari Ini, Kerugian Ditaksir Rp 155 Juta |
![]() |
---|
CERITA Fajarwati yang Kelak Tidak Akan Tidur di Bekas Kandang Sapi Lagi |
![]() |
---|
Sambut Natal, 20 Gereja di Sleman Jadi Prioritas Pengamanan Polisi |
![]() |
---|
Ibu-ibu di Yogyakarta Diajak Cerdas Kelola Keuangan dan Emosional |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.