Sumbu Filosofi Yogyakarta
Kisah Raja Yogyakarta: Episode Sri Sultan Hamengku Buwono II, Raja yang Tiga Kali Naik Takhta
Simak kisah perjalanan hidup dan perjuangan Raja Yogyakarta episode Sri Sultan Hamengku Buwono II. Beliau sudah tiga kali naik takhta, begini kisahnya
Penulis: Alifia Nuralita Rezqiana | Editor: Alifia Nuralita Rezqiana
Sultan Hamengku Buwono II menolak tegas permintaan wakil VOC yang menuntut posisi duduknya disejajarkan dengan sultan di setiap acara pertemuan.
Selain itu, tanpa melibatkan VOC, Sri Sultan Hamengku Buwono II menunjuk sendiri patihnya untuk menggantikan Danurejo I yang meninggal dunia pada Agustus 1799.
Terjadi banyak peristiwa penting pada periode awal abad ke-19.
Sebagai sebuah perusahaan dagang, VOC bangkrut dan kemudian dibubarkan.
Baca juga: Kisah Raja Yogyakarta: Episode Sri Sultan Hamengku Buwono I Pencipta Sumbu Filosofi Yogyakarta
Sri Sultan Hamengku Buwono II turun takhta

Tak lama setelah VOC bangkrut dan dibubarkan, Kerajaan Belanda jatuh ke tangan Napoleon dari Perancis.
Bekas wilayah yang dikuasai VOC kemudian dikendalikan di bawah pemerintah kolonial.
Menandai perubahan tersebut, pada tanggal 14 Januari 1808, Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di bawah kendali Perancis, menggantikan posisi pimpinan sebelumnya yang dipegang oleh Albertus Henricus Wiese.
Daendels membuat perubahan mendasar yang menjadikan seluruh kerajaan di bekas jajahan VOC sebagai bawahan dari Kerajaan Belanda.
Oleh karena itu, ia mengharuskan Raja Jawa tunduk kepada Raja Belanda.
Daendels juga mengeluarkan aturan bahwa hak pengelolaan hutan harus berada di bawah pemerintah kolonial.
Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan tegas menolak semua tatanan baru tersebut.
Hingga suatu hari, Daendels datang ke Yogyakarta membawa 3.300 pasukan untuk menekan Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Akibat dari tekanan tersebut, Sultan Hamengku Buwono Il dipaksa turun takhta.
Pada 31 Desember 1810, Sri Sultan Hamengku Buwono II turun takhta.
Ia kemudian digantikan oleh Putra Mahkota RM Surojo sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono III.
Sri Sultan Hamengku Buwono II naik takhta untuk yang kedua kalinya
Setelah naik takhta, Sri Sultan Hamengku Buwono III diharuskan menandatangani kontrak dengan Belanda dengan syarat-syarat yang memberatkan.
Namun, perjanjian yang ditandatangani pada Januari 1811 itu tidak sempat dilaksanakan.
Sebab, Inggris datang dan memukul mundur Belanda.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II untuk mengambil kembali takhtanya.
Ia pun diangkat lagi jadi Raja Yogyakarta untuk yang kedua kalinya.
Saat itu, beliau menurunkan status Sri Sultan Hamengku Buwono III yang semula sempat menjadi Raja Yogyakarta, kembali ke posisi sebelumnya, yaitu Putra Mahkota.
Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono II juga mengeksekusi Patih Danurejo II yang terbukti bersekongkol dengan Daendels.
Baca juga: Tradisi Labuhan Kraton Jogja: Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Dlepih Kahyangan
Inggris mengambil alih Keraton Yogyakarta, Sri Sultan HB II diasingkan
Sifat keras Sri Sultan Hamengku Buwono II lagi-lagi menempatkan beliau dalam posisi sulit, terlebih saat harus berhadap-hadapan dengan bangsa asing.
Di bawah pimpinan Letnan Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles, Keraton Yogyakarta diserang oleh prajurit Sepoy asal India pada tanggal 20 Juni 1812.
Akibat gempuran tersebut, Keraton Yogyakarta diduduki Inggris.
Harta benda termasuk ribuan karya sastra Jawa dijarah.
Sri Sultan Hamengku Buwono Il ditangkap, kemudian diasingkan ke Pulau Pinang sampai tahun 1815.
Kembalinya Sri Sultan Hamengku Buwono II dari pengasingan ke Pulau Jawa pada tahun 1815 tidaklah lama.
Setelah penyerahan kembali jajahan Belanda oleh Inggris pada tanggal 9 Agustus 1816, Belanda segera membahas posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II yang dianggap sebagai ancaman besar.
Maka pada 10 Januari 1817, Sri Sultan Hamengku Buwono Il dibuang ke Ambon.
Selama kurun waktu tersebut, Yogyakarta sedang dilanda kondisi tidak menentu.
Sri Sultan Hamengku Buwono III meninggal dunia, kemudian digantikan oleh putranya yang kemudian mendapat gelar Sri Sultan Hamengku Buwono IV.
Belum lama bertakhta, Sri Sultan Hamengku Buwono IV meninggal dunia.
Ia kemudian digantikan oleh putranya yang masih sangat belia, Sri Sultan Hamengku Buwono V.
Saat itulah, menyusul perlawanan terbesar sepanjang sejarah pemerintahan Kolonial Belanda.
Perlawanan rakyat tersebut dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.

Kala itu, posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II disebut sebagai Sultan Sepuh.
Belanda menilai, Sri Sultan Hamengku Buwono II bukan hanya ancaman bagi mereka, tetapi juga bisa menjadi penengah karena Sri Sultan HB II didengarkan oleh semua kalangan bangsawan istana.
Untuk itu, Belanda memutuskan memulangkan kembali Sri Sultan Hamengku Buwono II ke Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwono II naik takhta untuk yang ketiga kalinya
Sri Sultan Hamengku Buwono II kembali diangkat menjadi Raja Yogyakarta, untuk yang ketiga kalinya, pada tanggal 20 September 1826.
Pada periode kepemimpinannya yang ketiga, usia Sri Sultan Hamengku Buwono II sudah senja.
Kesehatannya menurun drastis.
Kemudian, pada 3 Januari 1828 (15 Jamadil Akhir 1755), Sri Sultan Hamengku Buwono II meninggal dunia karena sakit.
Setelah mengakat (meninggal dunia) beliau dimakamkan di Kotagede.
Pada saat itu, sedang berkecamuk Perang Jawa, sehingga tidak memungkinkan bagi pihak Keraton Yogyakarta untuk mengadakan prosesi pemakaman Sri Sultan Hamengku Buwono II sampai ke Makam Raja-Raja di Imogiri.
Baca juga: Sejarah dan Tata Cara Penyajian Teh bagi Raja Keraton Yogyakarta: Ladosan Pangunjukan Dalem
Peninggalan Sri Sultan HB II
Sebagaimana Sri Sultan Hamengku Buwono I, Sri Sultan Hamengku Buwono II juga meninggalkan karya-karya monumental.
Selama masa hidupnya, Sri Sultan Hamengku Buwono II membentuk korps/satuan keprajuritan yang dilengkapi dengan perlengkapan dan persenjataan yang lebih baik.
Satuan keprajuritan tersebut mampu membangun benteng baluwarti yang dilengkapi meriam untuk melindungi Keraton Yogyakarta dari serangan luar.
Di bidang sastra, Sri Sultan HB II mewariskan karya-karya heroik yang berbau pertahanan dan militer, seperti “Babad Nitik Ngayogya” dan “Babad Mangkubumi”.
Dua karya babad ini menceritakan perjuangan berdirinya Keraton Yogyakarta.
Selain itu, ada juga karya sastra yang bersifat fiksi, di antaranya “Serat Baron Sekender” dan “Serat Suryaraja”.
Karya terakhir Sri Sultan Hamengku Buwono II merupakan karya pustaka yang dijadikan pusaka bagi Keraton Yogyakarta.
Lebih lanjut, Sri Sultan HB II juga memerintahkan untuk membuat berbagai bentuk wayang kulit dengan watak perang dan menggubah wayang orang dengan lakon Jayapusaka.
Tokoh utama dalam lakon tersebut adalah Bima yang begitu tepat menggambarkan watak jujur, keras, dan juga tegas dari Sri Sultan Hamengku Buwono II. (Tribunjogja.com/ANR)
Raja Yogyakarta
Sri Sultan Hamengku Buwono II
Keraton Yogyakarta
Keraton Surakarta
VOC
sejarah
Sejarah Keraton Yogyakarta
Sri Sultan Hamengku Buwono I
Sumbu Filosofi Yogyakarta
Promosikan World Heritage, 73 Delegasi dari Malaysia Diajak Tour Sumbu Filosofi |
![]() |
---|
Sumbu Filosofi Jadi Warisan Dunia, Trans Jogja Belum Berencana Tambah Rute |
![]() |
---|
Sri Sultan Hamengku Buwono X Ingin Sumbu Filosofi Berdampak Positif ke Seluruh Lapisan Masyarakat |
![]() |
---|
Layani Tur Gratis di Kawasan Sumbu Filosofi, Disbud DIY Sediakan 2 Unit Bus Jogja Heritage Track |
![]() |
---|
Pemda DIY Bakal Bentuk Sekretariat Bersama untuk Kelola Kawasan Sumbu Filosofi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.