Sumbu Filosofi Yogyakarta

Sejarah Alun-alun Utara, Pernah Jadi Tempat Pengaduan Warga kepada Sang Raja

Lokasi Alun-alun Utara juga berdekatan dengan lokasi incaran wisatawan seperti Masjid Gedhe, sentra Gudeg Wijilan, sentra wisata Malioboro

kebudayaan.kemdikbud.go.id
Sejarah Alun-alun Utara, Pernah Jadi Tempat Pengaduan Warga kepada Sang Raja 

Penempatan ini adalah wujud bagaimana Sri Sultan Hamengku Buwono I secara cerdas menggambarkan konsep Islam habluminallah.

Sementara Kiai Janadaru yang bermakna lugas pohon manusia, bersama dengan Pasar Beringharjo, berada di sisi timur dari sumbu filosofis. Hal ini melambangkan hubungan manusia dengan manusia, sebuah konsep Islam hablumminannas.

Kemudian, pada sisi utara dan sisi selatan, berdiri juga sepasang pohon beringin.

Nah, beringin di utara bernama Kiai Wok dan Kiai Jenggot, sedang yang di selatan bernama Agung dan Binatur.

Alun-alun Utara juga ditutupi pasir lembut seperti pasir pantai. Konon ini menggembarkan laut tak berpantai yang merupakan perwujudan dari kemahatakhinggaan Tuhan.

Maka secara keseluruhan, makna alun-alun beserta kedua pohon beringin di tengahnya menggambarkan konsepsi manunggaling kawula Gusti, bersatunya raja rakyat dengan raja dan bertemunya manusia dengan Tuhan.

Bila Tribunners mengamati sekeliling Alun-alun Utara, pasti kita akan melihat banyak pohon bringin.

Memang di sekeliling Alun-alun Utara terdapat 62 pohon beringin. Jadi bisa dibilang total pohon beringin ada 64 di Alun-alun Utara ini.

Makna pohon beringin ini menggambarkan usia Nabi Muhammad SAW ketika beliau meninggal dalam perhitungan Jawa.

Fungsi Alun-alun Utara pada Zaman Dulu

Alun-alun Utara
Alun-alun Utara (kratonjogja.id)

Selama ini, masyarakat mengenal Alun-alun Utara Jogja ini sebagai ruang publik yang terbuka untuk umum. Namun, Alun-alun Utara pada zaman dahulu memiliki fungsi yang berbeda.

Alun-alun Utara menjadi tempat masyarakat yang ingin mengadukan persoalan kepada Sultan.

Rakyat yang merasa diperlakukan tidak adil akan berpakaian putih, duduk di bawah panas matahari (pepe) di tengah alun-alun hingga Sultan melihat dan memanggilnya.

Praktek mengadukan nasib di bawah sengatan matahari ini disebut laku pepe atau tapa pepe.

Dikutip dari pariwisata.jogjakota.go.id, beberapa sumber menyebut karena permukaan alun-alun ini berupa pasir halus yang cocok digunakan untuk tempat latihan para prajurit untuk unjuk kehebatan di hadapan Sultan.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved