Sumbu Filosofi Yogyakarta

Sejarah Masjid Pathok Negoro Mlangi, Pembatas Daerah di Bagian Barat Kini Jadi Tempat Wisata Religi

Masjid Pathok Negoro Mlangi menjadi bangunan pertama yang didirikan sebagai batas wilayah pemerintahan. 
Masjid ini didirikan dan dikelola oleh BPH.

Tribun Jogja/ Siti Umaiyah
Sejarah Masjid Pathok Negoro Mlangi, Pembatas Daerah di Bagian Barat Kini Jadi Tempat Wisata Religi 

Di sekitar masjid juga terdapat banyak Pondok Pesantren, bahkan setiap padukuhan memiliki lebih dari satu pondok pesantren. Walaupun begitu, kedamaian tetap terjaga di Mlangi.

Setiap setelah maghrib, semua masyarakat Mlangi masuk ke dalam rumah (tidak keluar) hingga tiba waktu Isya’. Tradisi setelah Maghrib ini masih bertahan hingga kini.

Kawasan masjid ini masuk ke dalam desa wisata Mlangi. Area masjid ini menempati tanah seluas 1000 meter persegidari Kasultanan Yogyakarta. Bangunannya pun terbagi menjadi beberapa ruangan.

Ruangan utamanya seluas 20 x 20 meter persegi, serambi masjid 12 x20 meter, ruang perpustakaan 7 x 7 meter persegi.

Luas halaman masjid ini sendiri adalah 500 meter persegi.

Masjid ini berada di tanah yang lebih rendah adri tanah lainnya oleh akrena itu ada beberapa anak tangga yang dapat digunaakan untuk menuju ke lokasi.

Pada awal berdirinya, masjid ini memiliki 16 tiang utama dari kayu jati.

Masjid Pathok Negoro Mlangi
Masjid Pathok Negoro Mlangi (jogjacagar.jogjaprov)

Terdiri dari 4 saka guru dan 12 saka penanggep.

Baca juga: Sejarah Masjid Pathok Negoro Plosokuning, 80 Persen Bangunan Asli Sejak Tiga Abad Lalu

Namun, seiring kebutuhan masyarakat sekitar, bangunan ini mengalami perubahan besar-besaran pada tahun 1985.

Masjid dibuat bertingkat dengan pilar-pilar beton, hanya bentuk asli masjid ini yang dipertahankan dengan cara diangkat ke lantai atas.

Salah satu bagian masjid yang tidak berubah adalah mustaka, atau mahkota masjid.

Nama Mlangi dapat berarti ‘mulangi’ yang berarti mengajar (mulang: mengajar).

Nama tersebut diambil karena cita-cita Kyai Nur Iman untuk mengembangkan ajaran Islam sejak masih muda.

Dalam sejarahnya, Kyai Nur Iman sama sekali tidak menginginkan tahta sebagai raja di Keraton Yogyakarta.

Keteguhan hatinya untuk tetap mengabdi kepada agama, membuatnya memilih untuk mengabdikan dirinya di luar keraton.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved