PBB Sebut Masih Banyak Tantangan untuk Ciptakan Keseteraan Gender

Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) menyebut masih banyak tantangan untuk menciptakan kesetaraan gender, termasuk di Indonesia.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Tribunjogja.com/Ardhike Indah
Kepala Perwakilan PBB, Valerie Julliand di Fisipol UGM, Selasa (7/3/2023) 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) menyebut masih banyak tantangan untuk menciptakan kesetaraan gender, termasuk di Indonesia.

Kepala Perwakilan PBB untuk Indonesia, Valerie Julliand mengatakan, sejak dini, laki-laki sudah diedukasi dan diasuh untuk berpikir bahwa mereka superior.

“Dan ketika ada gerakan perubahan, seperti Me Too Movement di Amerika, ketika perempuan mengatakan, sorry ya kita juga punya hak untuk setara, beberapa laki-laki akan menolak perubahan itu,” tutur Julliand dalam kuliah umum ‘International Women’s Day 2023 DigitALL: Innovation and Technology for Gender Equality’ di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada, Selasa (7/3/2023).

Ia menjelaskan, dalam gerakan Me Too Movement yang dipromosikan di luar negeri, ada banyak fakta bahwa perempuan diperkosa bahkan harus melakukan hubungan seks dengan atasan laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan.

Baca juga: Inteijen Inggris Pernah Gunakan Utusan PBB untuk Kepentingan di Perang Yaman

Namun, Me Too Movement juga masih dikritisi oleh sebagian laki-laki yang merasa ada perubahan dari dunia.

“Mereka akan melakukan apa saja untuk menolak itu,” terang Julliand.

Tantangan selanjutnya, kata dia, berasal dari diri perempuan yang terkadang masih berpikir bahwa perempuan itu tidak memiliki hak untuk setara dengan laki-laki.

Padahal, perempuan itu sendiri yang akan mengasuh anak-anak, termasuk anak perempuan.

“Jangan lupa, ibu adalah orang pertama yang mengedukasi anak-anak. Ibu kadang memberikan pemikiran bahwa anak perempuan tidak punya hak dan kapasitas yang sama dengan laki-laki,” tuturnya.

Menurut Julliand, segala hukum dan kebijakan yang diciptakan juga harus diiringi dengan perubahan akar pemikiran.

“Mental orang itu berkembang lebih lambat, daripada hukum dan kebijakan. Dua hal itu yang akan memaksa orang untuk berubah,” kata dia.

Ketimpangan hak yang dirasakan oleh perempuan itu seringkali menjadi sebuah kerugian, apalagi di dunia teknologi yang meningkat pesat ini.

Baca juga: China Dukung Rusia Bentuk Komisi Investigasi PBB Usut Peledakan Nord Stream

Dikatakan Julliand, teknologi bukanlah alat yang menciptakan ketimpangan. Jauh sebelum adanya perkembangan teknologi, hak perempuan dan laki-laki itu sudah timpang.

“Perempuan banyak yang tidak mendapatkan hak, akses dan kesempatan yang sama di dunia perkembangan teknologi. Padahal, dunia ini mengandalkan teknologi untuk melakukan banyak hal,” paparnya.

Dia menambahkan, hal yang bisa dilakukan adalah memastikan tiada hukum, kebijakan dan struktur dimana perempuan tidak diberikan hak yang sama dengan laki-laki.

“Kita harus pastikan itu. Kemudian, teknologi akan membantu, akan memberi keuntungan dan digunakan perempuan,” tukasnya. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved