Politik Global

China Kecam Mentalitas Perang Dingin, Hegemonisme, dan Unilateralisme

China mempublikasikan makalah keamanan global yang menyoroti secara tajam mentalitas perang dingin, hegemonisme, dan unilateralisme.

Penulis: Krisna Sumarga | Editor: Krisna Sumarga
China Military/Global Times
ARMADA kapal perang China berlayar di perairan Laut China Selatan dalam rangkaian latihan gugus tugas luat. China memperingatkan kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan bisa "membakar" kawasan dan hubungan China-Rusia. 

TRIBUNJOGJA.COM, BEIJING – China  meluncurkan makalah keamanan global yang memberikan teguran tajam terhadap mentalitas perang dingin, hegemonisme, dan unilateralisme.

Sebaliknya, China menawarkan pencegahan konflik dan mempromosikan keamanan global, sambil mengecam penggunaan sanksi dalam kebijakan luar negeri.

Inisiatif keamanan global versi China itu dipublikasikan Kementerian Luar Negeri China, Selasa (21/2/2023).

China menyatakan diri siap bersama komunitas internasional menavigasi dalam apa yang digambarkan dokumen tersebut sebagai era penuh tantangan.

Ini memprioritaskan tata kelola keamanan yang berpusat pada PBB, menyatakan mentalitas perang dingin, unilateralisme, konfrontasi blok, dan hegemonisme bertentangan semangat Piagam PBB.

Paradigma itu harus dilawan dan ditolak. Pernyataan tajam China dalam makalah itu terkesan ditujukan ke kekuatan barat yang menghegemoni dunia.

Baca juga: Presiden Xi Jinping Ceramahi Trudeau yang Dianggap Bocorkan Pembicaraan Mereka

Baca juga: Iran-China Kuatkan Hubungan, Presiden Ebrahim Raisi Temui Xi Jinping di Beijing

Baca juga: Medvedev Ke Beijing Bawa Pesan Pribadi Putin ke Presiden China Xi Jinping

Menurut China, negara-negara harus menjunjung tinggi konsensus perang nuklir tidak dapat dimenangkan dan tidak boleh dilawan.

Kekuatan nuklir harus memperkuat dialog dan kerja sama untuk mengurangi risiko kebuntuan nuklir.

Dokumen tersebut selanjutnya menekankan perlunya memperhatikan kekhawatiran keamanan yang sah dari semua negara secara serius, sembari menghormati kedaulatan dan integritas teritorial mereka.

Makalah program juga membuat seruan untuk menyelesaikan perselisihan internasional secara eksklusif melalui diplomasi.

“Perang dan sanksi bukanlah solusi mendasar untuk perselisihan; hanya dialog dan konsultasi yang efektif dalam menyelesaikan perbedaan,” tulis China pada makalah itu.

“Menyalahgunakan sanksi sepihak… tidak menyelesaikan masalah, tetapi hanya menciptakan lebih banyak kesulitan dan komplikasi,” lanjut mereka.

Menyikapi konflik Moskow dan Kiev, berdasar publikasi media China, Beijing mendukung penyelesaian politik atas isu-isu penting seperti krisis Ukraina melalui dialog dan negosiasi.

Menteri Luar Negeri China Qin Gang mengatakan inisiatif tersebut berusaha untuk membangun komunitas manusia dengan masa depan bersama, terbuka dan inklusif bagi negara mana pun untuk bergabung.

Gagasan inisiatif tersebut pertama kali dikemukakan Presiden China Xi Jinping pada April 2022 sebagai sarana untuk menjunjung tinggi prinsip keamanan yang tak terpisahkan di dunia.

Makalah itu muncul satu hari setelah China merilis laporan berjudul 'US Hegemony and its Perils', berisi kecaman ke Washington karena meningkatkan persaingan kekuatan besar di seluruh dunia.

Washington menggencarkan revolusi warna, dan memicu ketegangan regional dengan kedok mempromosikan demokrasi.

Di mata China, AS telah menyalahgunakan posisinya yang hegemonik di dunia selama beberapa dekade untuk menuai keuntungan bagi dirinya sendiri.

Mereka menabur persaingan dan ketidakstabilan di negara lain. Dokumen China ini berupaya menarik perhatian internasional terhadap bahaya praktik AS terhadap perdamaian dan stabilitas dunia serta kesejahteraan semua orang.

Laporan itu menawarkan contoh keegoisan yang diakui Washington di bidang politik, militer, ekonomi, teknologi dan budaya.

Selama satu abad, AS telah memperlakukan Amerika Latin sebagai halaman belakangnya. Mereka yang melawan AS menghadapi campur tangan politik, intervensi militer, dan subversi rezim.

Di tempat lain, AS menciptakan blok yang memecah belah di bawah pengaruhnya, dan mendorong "revolusi warna" melawan lawan.

Akhir-akhir ini Washington telah mengemukakan dikotomi yang salah tentang demokrasi vs otokrasi, dan secara sewenang-wenang melabeli negara sebagai anggota salah satu kubu.

Penggunaan kekuatan telah menjadi ciri ekspansionisme AS sejak kemerdekaannya. Sejak 2001 saja, perang yang dilancarkan oleh Washington atas nama memerangi terorisme telah merenggut lebih dari 900.000 nyawa dengan sekitar 335.000 di antaranya warga sipil.

Pentagon telah menggunakan serangkaian metode perang yang mengerikan, dari senjata biologis di Korea hingga amunisi uranium yang habis dalam beberapa waktu terakhir.

Pemerintah AS telah menggunakan status dolar sebagai mata uang cadangan global, dan pengaruhnya terhadap sistem keuangan internasional, untuk menghentikan persaingan dan menjatuhkan sanksi sepihak terhadap lawan.

Laporan tersebut menuduh AS menggunakan statusnya sebagai kekuatan teknologi terkemuka untuk melakukan pengawasan elektronik dan spionase, termasuk terhadap sekutu terdekatnya.

Mereka memiliki pengaruh perusahaan teknologi besar memungkinkan pemerintah AS untuk menyensor pidato online dan mendorong narasinya dalam skala global, sambil membungkam kritik.

Dokumen tersebut menyimpulkan AS harus mengubah pendekatannya, karena tren sejarah perdamaian, pembangunan, kerja sama, dan saling menguntungkan tidak dapat dihentikan.(Tribunjogja.com/RussiaToday/xna)

 

 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved