Berita DI Yogyakarta Hari Ini

Rifka Annisa Fokus Pemulihan Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual

Mayoritas korban kekerasan seksual terjadi kepada perempuan dan pelaku kekerasan seksual dilakukan oleh laki-laki.

Penulis: Neti Istimewa Rukmana | Editor: Gaya Lufityanti
Tangkapan layar
Pelaksanaan diskusi Intervensi Kekerasan Seksual, Selasa (9/8/2022). 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Satu di antara hal yang menjadi fokus bagi Rifka Annisa untuk pemulihan hak-hak perempuan korban kekerasan seksual yakni mengimbangi dengan upaya pencegahan kekerasan seksual yang akan terjadi pada kemudian hari.

Melalui Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang disahkan menjadi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April 2022, di mana salah satu substansi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tersebut bertujuan untuk melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, yang tercantum dalam BAB II Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 17. 

Intervensi bagi pelaku ini sebagai upaya pemenuhan hak korban agar adanya jaminan ketidak berulangan kasus yang serupa.

Di mana pelaku mengakui penuh kekerasan yang dilakukan serta menerima segala konsekuensi atas perilaku kekerasannya dengan mengikuti program intervensi dan menunjukkan perubahan sikap dan perilaku. 

Baca juga: Hingga Juni 2022, Ada 31 Kasus Kekerasan Terhadap Anak dan 13 Kekerasan Perempuan di Kulon Progo

Counseling Assosiate Member Rifka Annisa sekaligus Dosen Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Aditya Putra Kurniawan, mengatakan tujuan intervensi pelaku kekerasan terbagi menjadi tiga.

"Yang pertama tujuannya adalah agar pelaku itu mengakui penuh kekerasan yang dilakukan. Artinya pelaku itu menyadari bahwa dia sedang melakukan. Karena, umumnya pelaku yang kami tangani itu cenderung tidak mengakui atau paling tidak dia menyalahkan korban atau menyalahkan hal-hal yang berada di luar dirinya," katanya, saat diskusi Intervensi Bagi Pelaku Kekerasan Seksual berlangsung secara daring, Selasa (9/8/2022).

Tujuan kedua ialah menerima segala konsekuensi atas perilaku kekerasan dari pelaku, di mana hal itu akan berlangsung ketika pelaku sudah mengakui penuh kekerasan yang dilakukannya.

Konsekuensi yang ada nantinya bisa berupa menerima hukuman atau hal-hal yang lainnya.

Tujuannya ketiga yakni pelaku akan didorong untuk mengikuti program intervensi dan menunjukkan perubahan sikap dan perilaku, baik itu berupa pemberian konseling, psikoterapi, atau rehabilitasi yang lain.

Pihaknya turut menyebutkan karakteristik klien pelaku kekerasan berdasarkan kasus-kasus yang pernah ditangani olehnya.

"Biasanya mereka (pelaku kekerasan seksual) tipe orang yang sangat resisten di hadapan konselor. Artinya, resisten itu enggan bekerja sama, meremehkan infromasi dengan konselor. Bahkan ada yang diam, tidak terbuka, menutup diri, manipulatif atau mau koorporatif di hadapan konselor. Biasanya hal itu dilakukan demi menghindari sanksi yang lebih berat," imbuhnya. 

Pelaku terkadang bertahan dengan keyakinan dan pola pikirnya sendiri/defensif, berdebat dengan konselor, hingga menguji kemampuan konselor.

Dosen Hukum Universitas Tidar, Triantono, turut memaparkan, berdasarkan fakta filosifis, sebenarnya setiap orang berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari kekerasan termasuk juga di depan hukum.

"Kemudian ada juga beberapa faktor sosiologis tentang data-data kekerasan seksual yang mana setiap tahunnya semakin meningkat. Bahkan pada tahun-tahun terakhir (sebelum disahkannya UU TPKS) Indonesia sudah di nobatkan dalam konteks kekerasan seksual yang sangat tinggi," terangnya.

Pada 2020, Komnas Perempuan juga melaporkan terjadinya peningkatan cyber seksual dari 97 menjadi 281 kasus.

Tidak hanya itu saja, berdasarkan data dari KPPA pada 2019 sebanyak 6.454 orang, pada 2020 sebanyak 6.980 orang dan pada 2022 terdapat 8.730 orang yang mengalami kasus kekerasan seksual.

Hal itu membuat kerugian-kerugian korban menjadi sangat serius.

Sehingga pada intinya kekerasan seksual adalah suatu realita yang kompleks.

Mayoritas korban kekerasan seksual terjadi kepada perempuan dan pelaku kekerasan seksual dilakukan oleh laki-laki.

Sementara itu, berdasarkan konteks usia yang menjadi pelaku tersebut berada di usia produktif atau dengan rentan usia 25-44 tahun.

Sehingga, apabila jika tidak segera diantisipasi kekerasan seksual yang ada, maka ada kemungkinan pelaku kekerasan seksual akan bertidak atau melakukannya lagi.

Kendati demikian, Kepala Bidang Pembinaan, Bimbingan, dan Teknologi Informasi Kantor Wilayah Kemenkumham DIY, M. Akhyar, memaparkan, berdasarkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 pada Pasal 17, selain dijatuhi pidana, pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat dikenakan tindakan berupa rehabilitasi.

Baca juga: Komisi A DPRD DIY Dorong Aparat Proses Hukum Pelaku Tindak Kekerasan Secara Tegas

Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 

Mengenai pelaksanaan rehabilitasi dilakukan di bawah koordinasi jaksa dan pengawasan secara berkala oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kesehatan.

"Kami melihat juga berdasarkan beberapa kasus kekerasan seksual yang ada. Di wilayah DI Yogyakarta ," paparnya.

Di Lapas Kelas IIA Yogyakarta ada satu kasus yang masuk ke dalam Pasal 286 KUHP.

Untuk di Lapas Kelas IIB Sleman juga terdapat satu kasus yang masuk ke dalam Pasal 290 KUHP.

Di Rutan Kelas IIA Yogyakarta juga hanya ada satu kasus Pasal 289 KUHP.

Namun, untuk di Lapas Kelas IIB Wonosari, terdapat satu kasus Pasal 288 KUHP dan 11 kasus Pasal 285 KUHP.

Kasus tersebut menjadi yang terbanyak di bandingkan kasus-kasus kekerasan seksual yang ada di beberapa lapas atau rutan di DIY.( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved