Ada Proyek Apa di Alun-alun Utara Yogyakarta?

Berikut penjelasan proyek revitalisasi Alun-alun Utara Yogyakarta. Dikabarkan, proyek ini untuk mempersiapkan Jogja sebagai Kota Warisan Dunia.

DOK. YouTube Agra Zulfanuddin
Proyek revitalisasi Alun-alun Utara Yogyakarta tampak dari atas. 

TRIBUNJOGJA.COM - Fasad Alun-alun Utara Yogyakarta menjadi banyak perhatian bagi masyarakat yang melewatinya lantaran terus mengalami perubahan.

Mulai dari pemasangan pagar di sekelilingnya pada 2020 lalu atau tingginya rerumputan yang tumbuh di sana.

Sebagai informasi, fasad adalah istilah arsitektur yang mengacu pada satu sisi bangunan. Biasanya, fasad mengacu pada bagian depan dari sebuah bangunan. 

Baru-baru ini, masyarakat yang lewat di Alun-alun Utara Yogyakarta mungkin melihat adanya sejumlah alat berat di bagian tengah alun-alun.

Alat-alat berat itu mengeruk tanah di sekeliling dua pohon beringin yang terletak di bagian tengah Alun-alun Utara

Bagi Anda yang masih bertanya-tanya ada proyek apa di Alun-alun Utara Yogyakarta, jawabannya adalah terdapat proyek revitalisasi penggantian pasir. 

Pengerukan tanah di sekeliling dua pohon beringin yang terletak di tengah Alun-alun Utara Yogyakarta
Pengerukan tanah di sekeliling dua pohon beringin yang terletak di tengah Alun-alun Utara Yogyakarta (DOK. YouTube Agra Zulfanuddin)

Baca juga: Alat Berat Beroperasi di Alun-alun Utara Yogyakarta, GKR Mangkubumi: Itu Untuk Penataan

Proyek revitalisasi penggantian pasir di Alun-alun Utara Yogyakarta itu sudah berlangsung sejak Minggu, 3 April 2022 lalu. Proyek ini ditargetkan akan rampung pada Juli 2022 mendatang.

Wakil Penghageng II Tepas Panitikisma Keraton Yogyakarta, KRT Suryo Satriyanto, melalui keterangan tertulisnya menjelaskan bahwa kondisi Alun-alun Utara Yogyakarta saat ini kurang ideal.

“Selama ini, terdapat banyak aktivitas yang menyebabkan kondisi alun-alun kurang ideal,” ucapnya, seperti dikutip Tribunjogja.com dari Kompas.com.

“Material asli penyusun alun-alun yakni pasir, telah tercampur dengan banyak material lain karena kegiatan yang dilaksanakan di Alun-alun Utara sering tidak inline (sejalan) dengan kelestarian alun-alun, ditambah lagi sistem drainase kurang memadai,” paparnya.

Suryo menjelaskan, setelah dilakukan pengerukan tanah, ternyata ditemukan adanya timbunan sampah, spanduk, sampai pondasi beton. 

Senada dengan Suryo, pada kesempatan lain, Paniradya Pati Kaistimewaan DIY, Aris Eko Nugroho mengatakan, selama proses pengerukan tanah di Alun-alun Utara Yogyakarta memang ditemukan timbunan sampah.

Kata Aris Eko, ada sampah bekas tenda, bekas beton, bahkan sampah spanduk yang bertuliskan 1983.

Sampah-sampah bekas kegiatan masyarakat yang diduga telah terkubur puluhan tahun di area Alun-Alun Utara Yogyakarta itu tentu saja tidak seharusnya berada di sana.

Karena kondisi memprihatinkan tersebut, pihak Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kraton Jogja berniat mengganti pasir yang telah tercemar dengan pasir baru.

KRT Suryo Satriyanto menjelaskan, pasir pengganti yang digunakan adalah pasir dari tanah Kasultanan.

Baca juga: Paniradya Kaistimewan DIY Tegaskan Revitalisasi Alun-alun Utara Yogyakarta Tak Gunakan Danais

Dua eskavator atau alat berat penggaruk tanah sedang beroperasi di Alun-Alun Utara Kota Yogyakarta, di Kemantren Gondomanan, Kota Yogyakarta, Kamis (14/4/2022) pagi.
Dua eskavator atau alat berat penggaruk tanah sedang beroperasi di Alun-Alun Utara Kota Yogyakarta, di Kemantren Gondomanan, Kota Yogyakarta, Kamis (14/4/2022) pagi. (TRIBUNJOGJA.COM/ Neti Rukmana)

“Kami menukar material yang ada di Alun-alun Utara Yogyakarta dengan pasir yang telah kami pilih. Selanjutnya, material dari Alun-alun Utara tersebut kami gunakan untuk menutup bekas galian pasir di wilayah pengambilan pasir,” jelas Suryo.

“Sebelum melakukan proses penggalian, kami juga sudah melakukan rapat koordinasi dengan berbagai instansi serta dinas terkait maupun masyarakat di sekitar lokasi pengambilan pasir,” ujarnya.

Menambahkan Suryo, Aris Eko pada lain kesempatan menyampaikan bahwa pasir pengganti yang akan digunakan di Alun-alun Utara Yogyakarta diambil dari tanah kasultanan.

“Tanahnya itu diambil dari salah satu Sultan Ground yang berada di Bantul. Apakah area pantai, ora ngerti aku (saya tidak tahu),” ujar Aris Eko seperti dikutip dari Tribunjogja.com, Senin (18/4/2022).

Sementara itu, Suryo dalam keterangan tertulisnya menjelaskan bahwa upaya mengembalikan tanah Alun-alun Utara Yogyakarta agar seperti material aslinya menjadi penting dilakukan demi kelestarian alun-alun.

“Mengembalikan tanah Alun-alun Utara ke material aslinya, yakni pasir, sangat penting untuk menjaga kemuliaan serta kelestarian Alun-alun sebagaimana mestinya,” tutur Suryo.

Ia menyampaikan, proses revitalisasi Alun-alun Utara Yogyakarta menjadi salah satu upaya Kraton Jogja untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai Kota Warisan Dunia.

Baca juga: PKL Alun-alun Klaten Dipindah Setelah Lebaran, Ini Pertimbangannya

Untuk diketahui, saat ini Yogyakarta memang sedang menuju tahap penilaian dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) untuk bisa menyandang status sebagai Kota Warisan Dunia.

Adapun yang dinilai oleh pihak UNESCO adalah area sumbu filosofis di mana Alun-alun Utara Yogyakarta menjadi salah satu titik sumbu filosofis tersebut.

Diharapkan, revitalisasi Alun-alun Utara Yogyakarta bisa ikut menyempurnakan area sumbu filosofis yang kini sedang dinilai UNESCO.

Terkait hal tersebut, Aris Eko selaku Paniradya Pati Kaistimewaan DIY juga tidak menyangkal bahwa penyempurnaan Alun-alun Utara Yogyakarta merupakan bagian dari persiapan penilaian UNESCO.

Lantas, bagaimana wujud Alun-alun Utara Yogyakarta yang dulu?

Kondisi Alun-alun Utara Yogyakarta di zaman dulu dan filosofinya

Foto Alun-alun Utara Yogyakarta Zaman Dulu
Foto Alun-alun Utara Yogyakarta Zaman Dulu. Kassian Cephas (1890) (DOK. Instagram Kraton Jogja)

Dikutip Tribunjogja.com dari laman resmi Kraton Jogja, Rabu (20/4/2022), seluruh permukaan Alun-alun Utara Yogyakarta seharusnya ditutup dengan pasir lembut, seperti halnya di Alun-alun Selatan Yogyakarta.

Pasir lembut yang menyelimuti seluruh permukaan alun-alun merupakan penggambaran atau lambang dari laut tak berpantai.

Disebutkan bahwa laut tak berpantai merupakan perwujudan dari Tuhan Yang Maha Tak Terhingga.

Sementara itu, dua pohon beringin di tengah Alun-alun Utara juga memiliki nama, yaitu Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru. Kini, nama Kiai Janadaru berubah menjadi Kiai Wijayadaru.

Baca juga: RESMI, Gubernur DIY Keluarkan SE Pelarangan Operasional Motor Listrik di Lokasi Sumbu Filosofi

Menurut Serat Salokapatra, benih Kiai Janadaru berasal dari Keraton Pajajaran, sementara Kiai Dewadaru benihnya berasal dari Keraton Majapahit.

Kiai Dewadaru adalah pohon beringin yang terletak di sebelah barat garis sumbu filosofis, sedangkan Kiai Janadaru atau Kiai Wijayadaru berada di sebelah timur sumbu filosofis.

Bagi yang belum tahu, sumbu filosofis yang dimaksud di sini adalah garis imajiner yang terbentang dari Gunung Merapi, melewati Tugu Jogja, kemudian Alun-alun Utara Yogyakarta, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Alun-alun Selatan Yogyakarta, Kandang Menjangan, sampai ke Laut Selatan.

Ilustrasi Sumbu Filosofi Yogyakarta
Ilustrasi Sumbu Filosofi Yogyakarta (DOK. Dinas Pariwisata DIY)

Dikutip dari laman Dinas Pariwisata DIY, pembangunan Yogyakarta dirancang oleh Sultan Hamengku Buwana I dengan landasan filosofi yang sangat tinggi.  

Beliau menata Kota Yogyakarta membentang arah utara-selatan dengan membangun Keraton Yogyakarta sebagai titik pusatnya.

Secara simbolis, filosofi garis imajiner ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam.

Simbol keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan alam termasuk lima anasir pembentuknya, yakni api dari Gunung Merapi, tanah dari bumi Ngayogyakarta, air dari Laut Selatan, serta angin dan akasa.

Baca juga: Ki Joko Wasis Reresik Pagebluk, Berjalan Kaki Mengikuti Sumbu Filosofi Yogyakarta

Nama-nama pohon beringin di Kraton Yogyakarta
Nama-nama pohon beringin di Kraton Yogyakarta (DOK. Kraton Jogja)

Nah, Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru atau Kiai Wijayadaru yang mengapit sumbu filosofi Yogyakarta tersebut juga memiliki makna tersendiri.

Kiai Dewadaru yang berada di sebelah barat sumbu filosofis, bersama Masjid Gedhe Yogyakarta yang juga berada di sebelah barat sumbu tersebut, menjadi gambaran hubungan manusia dengan Tuhan.

Sementara itu, Kiai Janadaru atau Kiai Wijayadaru yang berada di sebelah timur sumbu filosofis, bersama Pasar Beringharjo yang juga berada di sebelah timur sumbu itu, menjadi gambaran hubungan manusia dengan manusia.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan Kiai Dewadaru, Kiai Jandaru, dan lautan tak berpantai yang ditandai dengan pasir lembut di sekelilingnya, merupakan simbol keselarasan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan yang Maha Tak Terhingga, serta manusia dengan manusia lainnya.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved