Kisah Inspiratif

Terlilit Utang, Satu Keluarga di Gunungkidul Terpaksa Tinggal di Kandang Sapi

Mereka sekeluarga pun harus "berbagi" tempat dengan sapi dan kambing yang menempati kandang yang berada di tepi Sungai Oya.

Penulis: Alexander Aprita | Editor: Gaya Lufityanti
istimewa
Ngadiono beserta Sumini di depan bangunan kandang yang kini mereka jadikan sebagai rumah. 

TRIBUNJOGJA.COM, GUNUNGKIDUL - Ngadiono (52), terpaksa harus menjalani hidup prihatin bersama istri dan 3 anaknya.

Pasalnya, ia harus menetap di sebuah kandang yang berada di Pedukuhan Kedungranti, Kalurahan Nglipar, Kapanewon Nglipar, Gunungkidul.

Mereka sekeluarga pun harus "berbagi" tempat dengan sapi dan kambing yang menempati kandang tersebut.

Adapun bangunan kandang berada di tepi Sungai Oya.

Ngadiono menuturkan, dulunya ia memiliki rumah sendiri.

Baca juga: Berniat Usir Lebah dengan Membakar Blarak, Bangunan SD di Patuk Gunungkidul Terbakar

Pria ini awalnya bekerja sebagai tukang sablon, sedangkan istrinya menjadi pedagang sayur.

Keberadaan utang jadi bibit awal permasalahan yang dialami keluarganya.

"Karena operasionalnya kurang bagus, saya sekeluarga terjerat utang rentenir sampai puluhan juta, belum lagi utang dari bank," tuturnya ditemui wartawan pada Selasa (31/08/2021) lalu.

Akibatnya, Ngadiono harus rela kehilangan rumah yang sempat rusak akibat gempa bumi 2006 tersebut.

Rumah yang kembali dibangun dengan bantuan donatur beserta tanahnya itu dijual ke adik kandungnya sendiri.

Bertekad melunasi utang-utangnya, ia akhirnya memilih merantau ke Pulau Bangka di 2012, bekerja di perkebunan sawit.

Setahun berikutnya, istri dan dua anaknya menyusul.

Sumini (44), istri Ngadiono mengungkapkan penghasilan sebagai buruh harian di kebun sawit tidaklah besar.

Namun ia dan suami seakan tak ada pilihan lain, demi melunasi sisa utang yang ada.

"Per hari suami dibayar Rp 50 ribu, saya Rp 40 ribu. Kami lalu memutuskan kembali lagi ke kampung karena hasil yang didapat terlalu kecil," tuturnya.

Tahun 2018, mereka sempat menempati gubuk di tengah hutan.

Barulah sekitar 4 bulan terakhir ini, Ngadiono dan Sumini menempati kandang tersebut, keduanya kini mencari penghasilan sebagai petani penggarap.

Adapun pasangan suami-istri ini memiliki 4 anak.

Baca juga: Buat Kerajinan Dekorasi, Karya Warga Karangmojo Gunungkidul Tembus Pasar Nasional

Anak nomor 2 kini menetap bersama kerabat Sumini di Semanu.

Anak pertama tinggal di rumah neneknya yang tak jauh dari kediaman orang tuanya saat ini, namun terkadang ikut tinggal bersama.

Demikian pula dua anak lainnya, di mana satu di antaranya masih harus menjalani pembelajaran virtual.

Ngadiono mengatakan anaknya tersebut hanya mengandalkan perangkat komunikasi sederhana agar tetap bisa mengikuti pembelajaran.

"Tapi kadang sulit dipakai, kalau sudah begitu terpaksa pinjam ponsel milik saudara," ungkapnya.

Ngadiono kini tetap berupaya menyisihkan uang hasil panen yang didapatnya untuk kebutuhan sehari-hari.

Ia menggarap lahan palawija milik Perhutani, sedangkan ternak yang tinggal bersamanya sebagian milik saudara.

Terpisah, Dukuh Kedungranti Tukiyarno mengatakan keluarga tersebut sejak awal terdaftar sebagai warganya.

Adapun kandang yang mereka tempati didirikan sendiri oleh Ngadiono dengan hasil panennya.

"Sebenarnya dilarang mendirikan kandang ternak di situ, tapi mungkin agar memudahkan pekerjaannya juga," jelas Tukiyarno.

Ia mengatakan upaya bantuan sudah coba dilakukan, antara lain mendirikan rumah bagi keluarga Ngadiono.

Namun karena tidak ada tanah, maka upaya tersebut mandek di tempat.

Meski begitu, Tukiyarno mengatakan pihaknya berencana mendirikan rumah semi permanen.

Adapun rumah tersebut akan dibangun di tanah kas kalurahan, tidak lagi di pinggir Sungai Oya.

"Sebab di sana rawan banjir dan pernah terjadi, jadi kami berencana memindahkan mereka ke tanah kas kalurahan dulu," katanya.( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved