Pakar UGM: Pemerintah Tidak Perlu Menghapus Mural Bernuansa Kritik Sosial
Penghapusan itu menjadi bahan pembicaraan. Semangat pembuatan mural di Tangerang tersebut kemudian merembet ke beberapa daerah, termasuk DI Yogyakarta
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
Lebih lanjut, Irham mengatakan dari kasus ini dapat dilihat mural sebagai media menyampaikan aspirasi atau kritik menghadapai tantangan.
Di era demokrasi, justru patut dipertanyakan, mengapa masih ada pihak yang merasa gerah terhadap kritik sosial melalui mural.
“Sebab, tanpa ada konflik jangan-jangan ada sebuah kondisi mapan yang sebenarnya ada hierarki dominan disitu. Bentuk kritik atau aspirasi apapun hendaknya didengar dan dicari tahu,” terangnya.
Ia menjelaskan penggunaan mural sebagai media penyampaian aspirasi bisa dikarenakan tidak berjalannya sistem penyampai aspirasi formal di pemerintah dengan baik.
Sistem yang tidak lagi mampu menampung aspirasi masyarakat menjadikan sebagian masyarakat mencari media lain untuk menyuarakan pendapatnya.
Salah satu caranya adalah mengekspose ke publik baik lewat media online maupun offline termasuk mural.
“Kalau via online tidak cukup maka offline juga dilakukan seperti dengan poster dan mural, ini bentuk demokrasi. Tantangan bagaiamana pemerintah bisa mendengar aspirasi dan kritik ini tanpa dengan mudah labelnya dengan oposisi dan sebagainya,” ucapnya.
Lalu apakah penggunaan mural untuk menyampaikan aspirasi bisa dianggap efektif?
Irham menyebutkan di era PPKM saat ini dimana masyarakat tidak banyak melakukan mobilitas, penggunaan mural dinilai tidak terlalu efektif untuk menyuarakan pendapat.
Terlebih, banyak mural yang digambar di titik-titik yang tidak terjangkau oleh publik seperti di gambar di bawah jembatan.
Kendati begitu, Irham menyebutkan yang menjadi menarik di era internet saat ini mural difoto dan disebarluaskan melalui berbagai platform digital.
“Yang menarik, sebelum mural dihapus sudah ada beberapa orang yang mengambil fotonya dan justru foto asli ini sangat viral. Foto yang tersebar ini menarik minat banyak orang yang belum sempat melihat jadi melihat karena beritanya viral mural itu dihapus. Kritik pun menjadi berlipat ganda, mati 1 tumbuh 1.000,” tuturnya.
Senada, Kepala Bidang Riset dan Edukasi Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Ahmad Ilham Wibowo SH mengungkapkan, pembuatan mural dengan kritik itu adalah salah satu perwujudan kebebasan berpendapat.
Dengan begitu, apa yang dibuat para seniman di dinding-dinding kota, dijamin secara konstitusional oleh Pasal 28 Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945.
“Tidak ada ketentuan UU yang melarang kritik terhadap pemerintah, presiden dan wakil presiden,” katanya kepada Tribun Jogja.