Wawancara Eksklusif

Ahli Epidemiologi UGM: PTM Harus Perhatikan Transmisi Covid-19 di Lingkungan Sekitar

Uji coba Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Kota Yogyakarta untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah dimulai sejak hari ini

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
Istimewa
dr Riris Andono Ahmad MD MPH PhD 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Uji coba Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Kota Yogyakarta untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah dimulai sejak hari ini, Kamis (27/5/2021).

Sementara, untuk jenjang Sekolah Dasar (SD), kegiatan tersebut akan dimulai besok Jumat (28/5/2021).

Di masa uji coba PTM, setiap sekolah sudah mensosialisasikan hal-hal terkait implementasi protokol kesehatan (prokes) yang wajib dipatuhi siswa.

Mau tidak mau, siswa yang masuk ke sekolah wajib mengikuti prokes tersebut, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, tidak menimbulkan kerumunan dan mencuci tangan.

Baca juga: Kesaksian Warga Sengon Klaten yang Kehilangan Keluarga Saat Gempa 2006

Sebelum masuk, mereka juga harus dicek suhu terlebih dahulu.

Untuk mengetahui lebih detail analisa pakar epidemiologi mengenai program PTM di masa pandemi, simak wawancara Tribun Jogja dengan Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), dr Riris Andono Ahmad MD MPH PhD.

Menurut Anda, sebagai seorang epidemiolog, bagaimana seharusnya kebijakan uji coba PTM di DI Yogyakarta?

Kalau saya menilai, pemerintah perlu melihat situasinya.

Dalam artian begini, jika transmisi di lingkungan sosial itu meningkat, maka kemungkinan transmisi di sekolah juga meningkat.

Maka, saya bilang, kita perlu lihat situasinya.

Apabila transmisi di lingkungan meningkat, sebaiknya sekolah jangan dibuka dulu. Kenapa?

Karena memang rentang penyebaran virus corona.

Terkadang, yang sekolah itu kan bukan anaknya saja, tapi juga ibu atau orangtuanya. Mereka sering bergerombol untuk berdiskusi tentang anak-anak mereka.

Ini bisa menjadi masalah sendiri karena kegiatan seperti itu bisa jadi tempat penularan Covid-19.

Sebenarnya, bagaimana potensi anak-anak terkena Covid-19?

Nah, jika kita melihat perkembangannya, varian baru ini memiliki dampak buruk untuk anak-anak.

Memang, kalau dari segi kesehatan, jawaban singkatnya ya jangan ada PTM, tapi kita kan harus melihat secara luas.

Misal, jika kita melihat di negara Eropa, Australia ataupun Selandia Baru, kasus pada anak relatif kecil dibanding dengan penularan pada orang dewasa.

Di Eropa, kalau di sekolah justru yang rentan terjangkit Covid-19 adalah pengelola, maka dari itu pemerintah kan mendorong agar guru dan karyawan di sekolah divaksinasi dulu.

Berarti, untuk membuka PTM, harus melihat transmisi di lingkungan juga mengingat varian baru lebih menular?

Betul, kita harus melihat semua variabel yang mempengaruhi itu. Jika sebagian besar variabel itu tidak mendukung, maka pemerintah perlu mengambil keputusan untuk tidak membuka sekolah dulu.

Itu bukan keputusan bersifat tetap.

Bisa saja, minggu ini membuka, minggu depan tutup sekolah. Penularan bisa terjadi hitungan minggu, seperti di India, misalnya.

Di India kan penularannya hitungan minggu.

Baca juga: Perlu Ada Posko untuk Menampung Keluhan Pengunjung Malioboro

Apakah perlu ada peningkatan kapasitas laboratorium untuk mendeteksi sampel Covid-19 di masa PTM ini?

Kapasitas lab untuk tes Covid-19 memang harus ditingkatkan untuk memetakan penyebaran.

Kalau di sekolah, perlu ada skrining dari waktu ke waktu. Ini lebih untuk melihat bagaimana kalau ada peningkatan kasus virus corona.

Jika ada peningkatan, pemerintah ya harus berani bilang tidak untuk membuka sekolah.

Saya kira, secara khusus, sekolah sudah punya cara pencegahan yang relatif komprehensif. (ard)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved