Harga Rumah di DI Yogyakarta Mahal, Guru Besar Permukiman UGM: Ada Istilah Housing Career

Guru Besar Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM, Prof Dr Ir Budi Prayitno, MEng, menjelaskan dalam kepemilikan rumah

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Kurniatul Hidayah
glynniscoxrealtor.com
ilustrasi 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Harga perumahan di DI Yogyakarta (DIY) semakin tak terkendali.

Akibatnya, para pegawai maupun pasangan muda banyak yang harus menunda impiannya memiliki hunian pribadi di wilayah strategis. 

Guru Besar Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM, Prof Dr Ir Budi Prayitno, MEng, menjelaskan dalam kepemilikan rumah, ada yang dinamakan housing career atau pergerakan seseorang dalam mendapatkan tempat tinggal. 

Menurut Budi, pasangan baru menikah contohnya, biasanya harus menumpang di rumah orang tua terlebih dahulu atau mengontrak selama 1-5 tahun pernikahan.

Baca juga: Kerusakan Pot di Kawasan Tugu Yogyakarta, Legislatif: Butuh Pencermatan Terkait Waktu Pengerjaan

Berikutnya, setelah 5 tahun, barulah mereka dapat membeli rumah di daerah pinggiran. 

"Kalau sudah lebih mampu baru membeli rumah agak ke tengah (lokasi strategis). Kalau sudah pensiun, maka bisa memilih tempat yang lebih nyaman lagi untuk menikmati hari tua," imbuhnya kepada Tribun Jogja, Senin (1/3/2021). 

Budi menjelaskan, saat ini untuk sebagian besar wilayah di Sleman pinggiran misalnya, harga rumah bagi pekerja berpenghasilan rendah minimal berada di angka Rp 150 juta.

Sementara, bagi kelas menengah sudah di atas Rp 500 juta. 

Untuk apartemen, biasanya memiliki bukaan harga di rentang Rp 450-500 juta untuk kelas studio atau luasan sekitar 22 m persegi. 

Sedangkan, untuk rumah kontrakan juga sangat beragam. Mulai dari Rp 1 juta per bulan hingga di atas Rp 5 juta per bulan.

"Sebagian besar ini di Sleman. Namun di Bantul pun sudah mulai merangkak dikarenakan banyaknya kampus besar yang berekspansi ke daerah ini," tuturnya. 

Generasi milenial berbeda paradigma

Kendati demikian, mahalnya harga rumah pribadi menurut Budi tak terlalu menjadi persoalan bagi generasi milenial.

Sebab, menurutnya generasi Y dan Z lebih senang menyewa rumah di beberapa tahun awal karirnya. 

"Ada perubahan paradigma. Yang penting rumahnya layak dan tidak mau yang besar. Apalagi sekarang bekerjanya di rumah, mobilitasnya tinggi. Kalau beli rumah malah merasa rugi. Kecuali ASN atau PNS," jelasnya. 

Baca juga: Lima Prioritas Pembangunan Sri Mulyani di Periode Kedua Jadi Bupati Klaten

Budi melanjutkan, generasi tersebut cenderung memilih membeli rumah ketika kondisi finansialnya sudah mapan.

Lebih-lebih, lanjutnya, rentang harga rumah dan tanah di DI Yogyakarta luar biasa. 

"Rentangnya di Yogyakarta luar biasa. Dari jutaan sampai puluhan juta (per meter persegi). Terutama Sleman. Bahkan ada yang melebihi harga tanah di Jawa dan Bali. Jadi memang agak berat, sulit tercapai," ungkapnya. 

Ia memberikan solusi kepada para pemburu properti untuk menggunakan beberapa skema yang kini banyak ditawarkan pemerintah.

"Ada skema pemerintah misalnya membeli berkelompok dengan komunitas, nanti dibantu bank. Ada juga KPR yang tidak hanya rumah, tetapi beserta tanahnya, ada pula skema tabungan. Sekarang banyak jenisnya," ucap Budi. (uti) 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved