Ini Alasan Dedi Sufriadi yang Menghancurkan 5 Ton Buku dengan Air di Jogja Gallery

setelah mengecor televisi dalam pameran seni rupa "Sepuluh Perantau" beberapa waktu lalu, kini Dedi menghancurkan buku seberat lima ton

Penulis: Yosef Leon Pinsker | Editor: Kurniatul Hidayah
Istimewa
Dedi Sufriadi berfoto berlatar buku yang dipamerkan dalam pameran tunggal bertajuk Superficial Reader di Jogja Galery. Pameran berlangsung hingga 15 Januari 2021. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dedi Sufriadi menggelar pameran tunggal bertajuk Superficial Reader di Jogja Gallery.

Pameran yang berlangsung hingga 15 Januari 2021 ini bakal membuat pengunjung kembali geleng-geleng kepala. 

Bagaimana tidak, setelah mengecor televisi dalam pameran seni rupa "Sepuluh Perantau" beberapa waktu lalu, kini Dedi menghancurkan buku seberat lima ton lewat mengguyurnya dengan air

"Secara umum tema yang saya angkat ini menyatakan bahwa kita semua adalah pembaca yang dangkal. Karena adanya pergeseran literasi dari analog ke digital dalam 10 tahun terakhir," jelas Dedi, Selasa (15/12/2020) malam. 

Baca juga: Lark Platform Kolaborasi untuk Kerja Jarak Jauh yang Memiliki Banyak Fitur

Baca juga: Liverpool dan Tottenham Hotspur Rebutan Posisi Puncak Klasemen Liga Inggris

Dedi menerangkan, semangat literasi sebelum adanya pergeseran medium dulunya sangat jelas.

Orang akan melakukan aktivitas membaca karena didasari oleh kebutuhan yang haus akan ilmu pengetahuan. 

Namun, di era digital semua itu seakan tergerus. Orang bisa membaca apa saja dan di mana saja tanpa ada latar belakang yang jelas terhadap bahan bacaan yang digelutinya. 

"Setelah perkembangan teknologi yang luar biasa, kegiatan membaca tidak lebih dari kegiatan yang rekayasa. Orang membaca kadang tidak butuh referensi dan siapa penulisnya, hanya sekedar hiburan," imbuhnya. 

Lewat simbol penghancuran buku yang dibasahi itu, Dedi seakan menyatakan bahwa masyarakat kontemporer perlahan-lahan menggerus makna utama dari keberadaan buku fisik dan aktivitas membaca. 

Dia sendiri mengaku pengagum buku, niat menghancurkan lima ton buku itu buka untuk menyinggung.

Namun, kritik yang diberikan semata-mata hanya ingin menggambarkan dunia literasi beberapa waktu belakangan. 

"Ya termasuk juga dengan kehadiran sosmed, memang orang semua menjadi pembaca tapi ya itu tadi nilai yang diperoleh itu tidak ada hanya sebuah rekreasi," jelasnya. 

Baca juga: Gaji Karawang Sempat Ramai Dibicarakan di Twitter, Inikah Sebabnya?

Baca juga: BPBD Klaten : Logistik Pengungsi Gunung Merapi Aman Sampai Akhir Tahun

Dalam pameran itu Dedi juga mencoba memancing emosi pengunjung.

Dia menganggap karya yang ditampilkannya akan berhasil jika audiens marah dan emosi saat melihat buku tersebut dihancurkan. 

"Ini semacam survei besar saya, apakah generasi setelah saya ini masih cinta dengan buku atau lebih tertarik dengan buku digital," ujarnya. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved