Tinggalkan Profesi Dosen, Wiwiek Banting Memilih Merajut Untuk Alasan Kemanusiaan
Dia adalah Wiwiek Ambarwati (63), seorang perajin sulam yang berdomisili di Perumahan Candi Gebang, Wedomartani, Sleman.
Penulis: Nanda Sagita Ginting | Editor: Kurniatul Hidayah
Laporan Reporter Tribun Jogja, Nanda Sagita Ginting
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Benang warna-warni nampak dililitkan di sela-sela jari tuanya.
Seperti menunggu giliran, benang tersebut dikaitkan dengan dua jarum rajut hingga berbentuk pola.
Tangannya pun bergerak ke atas dan ke bawah sambil sesekali mengecek pola bunga yang ingin dibuatnya.
Dia adalah Wiwiek Ambarwati (63), seorang perajin sulam yang berdomisili di Perumahan Candi Gebang, Wedomartani, Sleman.
Menjadi seorang penyulam bukanlah pekerjaan awal yang digelutinya.
Dulu, ia merupakan seorang dosen jurusan Aristektur di salah satu Universitas Swasta di Yogyakarta.
Baca juga: BBPOM Yogyakarta Gelar Forum Konsultasi untuk Tingkatkan Pelayanan Publik
Baca juga: Libur Akhir Tahun, Sekda Kota Magelang Imbau Pegawai Pemkot Tidak Pergi ke Luar Kota
Namun, adanya suatu kejadian yang membuat hatinya tergerak dan membawanya lebih menyelami dunia kerajinan sulam.
"Saya memang orang yang cinta dengan seni. Meskipun, saya tidak mengajar formal lagi. Namun, saya tetap bisa berbagi ilmu yang bermanfaat kepada orang lain dengan cara yang berbeda," jelasnya kepada Tribun Jogja, pada Selasa (08/12/2020).
Ia menambahkan, melepas jabatan menjadi seorang dosen dilakukannya saat adanya peristiwa Merapi
pada 2010 lalu.
Dirinya, menjadi salah satu relawan di sana yang membantu para pengungsi.
"Awalnya, ketika menjadi relawan belum ada niat untuk berhenti menjadi dosen. Karena, saat itu saya hanya berfokus untuk membantu perbaikan rumah sesuai kemampuan saya. Namun, ketika saya ikut kumpul bersama ibu-ibu pengungsi ada hal yang perlu perhatian lebih, yaitu mental," ujarnya
Di mana, banyak dari mereka yang terus menangis hingga trauma mengingat kejadian bencana tersebut.
Dari situlah, timbul inisiatif untuk membuat kegiatan yang bisa mengalihkan kesedihan pengungsi.
"Berbekal sedikitnya ilmu merajut yang saya pahami. Saya langsung berencana untuk membuat pelatihan agar pengungsi lupa akan kejadian yang tidak mengenakkan ini. Kemudian, saya langsung minta izin kepada ketua relawan untuk menggelar kegiatan tersebut," terangnya.
Pelatihan merajut untuk pengungsi dilakukannya pertama kali di Stadion Maguwoharjo yang menjadi salah satu tempat pengungsi.
Semua peralatan merajut disediakannya secara gratis.
Ternyata, animo yang diberikan masyarakat sangat positif.
Hingga, akhirnya pelatihan pun dilakukan hingga ke tempat pengungsi daerah Kalitengah Lor.
"Ternyata, cukup memberikan efek penyembuhan kepada mereka (pengungsi). Tidak ada lagi keluhan dan kesedihan. Hasil karya mereka pun saya jual dan hasilnya dibelikan untuk kebutuhan pengungsi," tuturnya.
Merasa nyaman memberikan ketenangan kepada pengungsi.
Membuat dirinya menjadi tertarik untuk terus melakukan kegiatan ini.
Baca juga: Libur Akhir Tahun, Sekda Kota Magelang Imbau Pegawai Pemkot Tidak Pergi ke Luar Kota
Baca juga: KPU Sleman Musnahkan 4.267 Surat Suara Rusak
Dari situ, ia mulai berpikir untuk menanggalkan status sebagai pengajar formal. Dan, tepat dua bulan setelah kejadian Merapi di Desember 2010, ia pun memantapkan kata hatinya.
"Kalau ditanya kenapa? Saya juga tidak ada jawaban. Karena, mengalir saja seperti itu. Hingga, kini saya pun tetap aktif memberikan pelatihan merajut secara gratis kepada orang-orang yang membutuhkan," terangnya.
Ia pun berharap, dengan adanya pelatihan yang terus dilakukannya dapat memberikan manfaat kepada orang sekitar.
Serta, melahirkan generasi-generasi yang bisa merajut.
"Saya hanya bisa lakukan bantuan kecil ini. Ke depannya, semoga perajin sulam bisa bertambah banyak dan dapat dijadikan sebagai tambahan ekonomi bagi masyarakat," pungkasnya. (ndg)