Kisah Biji Kopi Babadan Lereng Barat Gunung Merapi
kopi Babadan atau kopi Merapi Babadan di Desa Paten, Kecamatan Dukun, Magelang, Cerita kopi Arabica Babadan bermula pada 2012
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Iwan Al Khasni
Merasa prospeknya suram, dan keberadaan tanaman kopi diangap mengokupasi lahan sayur mayur, batang-batang tanaman kopi umur 3 tahun pun dibabat, nyaris habis.
Dari 100.000 batang tanaman kopi, tersisa sekitar 30 persen saja. Itulah yg diselamatkan Slamet dan Pak Poni. Pria ini Ketua Kelompok Tani Tumpang Sari Dusun Babadan.

Pak Poni dulu juga turut membabati sebagian tanaman kopi di kebunnya.
"Mboten ming getun (Tidak hanya menyesal)," katanya saat ditanya apakah ia menyesal membabati tanaman kopi.
Slamet mengakui sejak empat tahun terakhir, kopi mendapatkan tempat layak di masyarakat. Kedai dan kafe bertebaran. Harga komoditas ini di level petani ikut terkerek.
Para pebisnis minuman kopi memerlukan pasokan bahan yang memadai, berkualitas tinggi, dan memiliki ciri serta karakter tertentu.
Biji kopi Babadan menurut Slamet sudah memiliki pasar sendiri.
Ia tidak khawatir stok kopi yang ia tangani kehilangan pembeli.
Pandemi virus Corona memang berdampak lumayan. Namun bukan berarti bisnis perkopian mandek.
“Pembeli tetap ada, dan dari petani pun jika punya stok pasti saya ambil,” kata Slamet yang hanya tamat SMP Negeri 2 Dukun.
Slamet sejak kelas 2 SMP, sudah ikut membantu ayahnya berkebun, merawat dan membesarkan kopi. Ketekunannya berbuah sangat baik.
Tak meneruskan SMA, Slamet mengikuti Kejar Paket C, yang ijazahnya ia pakai untuk melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi keagamaan swasta di Magelang.
“Saya ada stok cukup banyak, tersimpan sangat baik. Ada yang mau memborong, tapi saya tahan dulu,” kata pemuda kelahiran 25 Februari 2000 ini.
Ia memiliki alasan khusus, bersifat taktis bisnis.
Slamet Wahyuni bertindak sebagai pengepul biji kopi Dusun Babadan.