Kisah Inspiratif
Pantang Minta-minta, Pasangan Difabel di Yogyakarta Ini Pilih Berjualan Roti untuk Bertahan Hidup
Meski memiliki keterbatasan fisik, pantang bagi mereka berdua untuk meminta-minta dan berpangku tangan.
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Miftahul Huda
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Penggalan syair Bahasa Jawa "Anut Runtut Tansah Reruntungan", yang bermakna pasangan yang selalu mengikuti dan selalu bersama, tampaknya cocok untuk menggambarkan pasangan Erni dan Parjan.
Erni dan Parjan merupakan pasangan difabel yang tidak pernah menyerah meski kerap diterpa cobaan hidup.
Mereka selalu kompak dan saling melempar canda, meski keterbatasan kerap kali membuatnya sulit untuk beraktivitas.
Pagi itu Erni duduk di kursi roda.
Di bawah pohon, Parjan yang merupakan seorang tuna netra duduk termangu mendampinginya.
• Kisah Pemulung Difabel asal Yogya, Keliling Cari Rosokan Pakai Kursi Roda demi Dapur Tetap Mengepul
Mulutnya komat-kamit, nampak seperti sedang membaca doa.
Meski kedua matanya tertutup, ia begitu peka jika ada seseorang yang datang.
Kursi roda milik Erni didesain khusus untuk menampung dirinya dan juga kotak besar berisi aneka roti.
Ukuran kotak itu hampir setengah dari badan Erni yang seorang difabel.
Ia cacat sejak lahir, kaki kanannya tak normal, namun senyum dan juga semangatnya luar biasa.
"Jualan roti. Monggo dilarisi," pekiknya, sembari membuka penutup box berwarna biru itu.
Ada aneka roti yang ia jajakan, mulai dari roti isi pisang, ayam, serta cokelat.
Harganya pun murah, hanya Rp 1.500 untuk satu potongnya.
Mulai pukul tujuh pagi, biasanya mereka mulai meninggalkan rumah untuk berjualan, kecuali kalau ada hujan.
"Suami saya yang dorong kursi rodanya. Saya yang memberi kemudi," katanya sambil tersenyum geli.
Mereka berjalan sejauh lima kilometer.
• Unik, Lemari Makan Gratis Ajak Warga Jogja Berbagi di Tengah Pandemi Covid-19
Rumahnya berada di Desa Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman.
Sementara tempat berjualannya tidak menetap, kadang berada di sekitaran kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
Rabu (8/7/2020) pagi tadi mereka berdua membuka dagangannya di depan asrama TNI di Kelurahan Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.
"Setelah empat bulan tidak jualan, saya memulai lapak dagangan di sini," tuturnya.
Erni kini berusia 65 tahun, ia memiliki dua anak.
Pernikahannya dengan Parjan adalah yang kedua kali, setelah ia pisah dengan suaminya terdahulu.
Begitu juga dengan Parjan, ia juga berstatus duda ketika menikah dengan Erni.
Namun, nasib pernikahannya itu justru membawanya kepada kebersamaan yang penuh kasih sayang.
"Kemana mana saya selalu bareng dangan bapak. Ya seperti cocok gitu," ujarnya.
Ketika ditemui, Parjan lebih banyak diam.
• Cerita ABK Sampai di Yogyakarta dengan Berbagai Cara, Tujuannya Pulang ke Bandung
Namun sekalinya bicara, ia mengungkapkan perasaan cintanya yang besar kepada istrinya itu.
"Jangan iri ya. Kami memang selalu bersama setiap waktu," selorohnya.
Kebersamaan itu ia buktikan dengan senantiasa mengawal kemana pun sang istri ingin pergi.
Suka duka bersama pun telah dilalui.
Pernah suatu ketika, hujan turun begitu deras di sekitaran kampus UNY, tempat mereka berjualan.
Dagangan mereka belum laku satu pun siang itu.
Karena keterbatasan fisik, Parjan pun kesulitan untuk mendorong kursi roda istrinya itu.
"Hujan deras waktu itu. Dagangan belum laku, saya kesulitan untuk mendorong, akhirnya kehujanan di pinggir jalan," urainya.
Meski memiliki keterbatasan fisik, pantang bagi mereka berdua untuk meminta-minta dan berpangku tangan.
• Kisah Manusia Silver Bertahan Hidup di Yogyakarta, Bermula dari Pandemi yang Bikin Dagangan Sepi
Setiap harinya, mereka berdua mendapat untung sebesar Rp100 ribu dari berjualan roti tersebut.
"Saya tidak mau minta-minta. Saya masih bisa mencukupi kebutuhan. Untuk bayar listrik dan keperluan. Anak saya sudah bekerja semua. Tapi saya tak ingin merepotkan mereka," tegasnya.
Kisah cinta Parjan dan Erni berawal dari tempat kursus khusus difabel.
Tepatnya tahun 2003 mereka bertemu.
Setelah berbincang dan saling kenal, benih-benih cinta mulai tumbuh.
Akhirnya pada 2012 keduanya memutuskan untuk menikah.
Sampai sekarang, mereka pun hidup mandiri tanpa bergantung pada anak, meski keterbatasan fisik keduanya menyulitkan geraknya. (TRIBUNJOOGJA.COM)