Kisah Manusia Silver Bertahan Hidup di Yogyakarta, Bermula dari Pandemi yang Bikin Dagangan Sepi

MANUSIA silver adalah istilah yang sering diberikan kepada orang-orang yang melumuri tubuhnya dengan cat berwarna silver.

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Iwan Al Khasni
TRIBUNJOGJA.COM | Maruti A. Husna
Sriono, pedagang kupat tahu keliling yang beralih pekerjaan menjadi manusia silver untuk mencari nafkah selama pandemi. 

Tanpa baju dan hanya bercelana pendek selutut, seorang pria menyedot perhatian para pengendara roda dua dan empat. Di perempatan bangjo Jalan Bantul, Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta manusia berbadan silver itu berdiri di bawah lampu merah. Nyaris seluruh tubuhnya berwarna silver, bahkan hingga rambut.

Laporan Reporter TRIBUNJOGJA.COM | Maruti A. Husna

Sriono, pedagang kupat tahu keliling yang beralih pekerjaan menjadi manusia silver untuk mencari nafkah selama pandemi. 
Sriono, pedagang kupat tahu keliling yang beralih pekerjaan menjadi manusia silver untuk mencari nafkah selama pandemi.  (TRIBUNJOGJA.COM / Maruti Asmaul Husna Subagio)

MANUSIA silver adalah istilah yang sering diberikan kepada orang-orang yang melumuri tubuhnya dengan cat berwarna silver.

Sambil membawa sebuah wadah, dia berkeliling dari satu pengendara ke pengendara lain. Sembari menyodorkan tempat semacam toples berisi uang itu.

Pria itu adalah Sriono Hadimulyono. Bapak yang mengaku telah berusia 60 tahun itu baru sekitar sepuluh hari mencari nafkah dengan menjadi manusia silver.

Sebelumnya, dia adalah pedagang kupat tahu keliling. Pekerjaan sebagai penjual kupat tahu sudah dijalaninya selama 15 tahun.

Namun, hal itu terpaksa terhenti selama pandemi. Sebab, dengan sepinya pembeli, hanya kerugian yang ia dapat selama menjajakan kupat tahu dengan gerobak.

“Sebenarnya saya jualan kupat tahu keliling. Berhubung jualan sepi, lah saya cari bagaimana caranya bisa makan,” ujar Sriono.

Sriono mengatakan biasanya ia berjualan keliling di sekitar Prayan, Bugisan, dan Suryowijayan. Sebelumnya, ia pernah mangkal di Pasar Legi.

“Saya modal Rp300 ribu (untuk berjualan kupat tahu), tapi dapat uang cuma Rp100 ribu, Rp150 ribu (selama pandemi). Empat hari pernah keluar modal Rp400 ribu, cuma kembali Rp200 ribu,” tutur bapak satu anak ini.

“Lalu, saya sempat nganggur, makan dikasih anak. Tapi kan saya pekewuh (tidak enak hati) karena sudah mantu, anak saya sudah berkeluarga,” sambungnya.

Sriono mengungkapkan, baru berhenti berjualan kupat tahu saat mulai bulan puasa. Setelah itu, dirinya sempat menganggur sekitar satu pekan.

Tak nyaman dengan keadaan itu, dia kemudian mengikuti ajakan anak dan teman anaknya yang sudah lebih dahulu mencari nafkah dengan menjadi manusia silver.

“Awalnya saya ragu, mental nggak kuat. Ikut tiga hari saya belum berani (menjadi manusia silver). Tapi setelah itu sudah biasa, mau bagaimana lagi. Kalau nggak begini saya nggak bisa makan,” papar Sriono.

Pria yang tinggal di daerah Kasihan, Bantul ini mengaku, ini adalah pengalaman pertamanya menjadi manusia silver seumur hidup.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved