Update Corona di DI Yogyakarta
Covid-19, Contoh Terbaik Proses Evolusi dalam Sejarah Hidup Manusia dan Lingkungannya
Penyakit yang disebabkan virus Corona, atau popular disebut Covid-19, jadi contoh terbaik bagaimana evolusi dalam kehidupan manusia itu terjadi.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Pakar biopaleoantropologi UGM, Rusyad Adi Suriyanto, menjelaskan penyakit yang disebabkan ragam mikroorganisma patogen senantiasa berubah.
Penyakit yang disebabkan virus Corona, atau popular disebut Covid-19, menurutnya contoh terbaik bagaimana evolusi dalam kehidupan manusia itu terjadi.
Penjelasan rinci tentang aspek sejarah penyakit masa lampau dan sekarang ini disampaikan dalam kuliah virtual via grup WhatsApp yang dikelola sejumlah pegiat literasi, peneliti sosial dan sejarah.
Nama grup kuliah virtual ini WABLAS, beranggotakan sekitar 250 anggota, dan sudah menggelar dua batch (season) diskusi virtual menghadirkan sederet narasumber kompeten di bidang masing-masing.
Rusyad Adi Suriyanto mendapat giliran presentasi di grup WABLAS sepanjang Sabtu (16/5/2020) siang hingga sore.
• Pakar Kebijakan Publik UGM : Memakai Masker Perlu Menjadi Norma Baru, Seperti Memakai Pakaian
Diskusi dimoderatori Asmarani Februaandari, dosen Akparda Yogyakarta.
Diskusi virtualnya berlangsung sangat menarik, interaktif, dan menghadirkan pertanyaan-pertanyaan kritis peserta yang forumnya dikelola sejumlah moderator di berbagai kota.
Tentang Covid-19 dan evolusi manusia berikut aspek-aspek kehidupannya, Rusyad menjawab pertanyaan Tika, peserta asal Bantul, DIY.
Tika bertanya, apakah penyakit masa lampau mengalami evolusi dalam perkembanganny sehingga semakin ke arah modern mengalami perkembangn kompleks serta rumit?
“Tentu penyakit yang disebabkan beragam mikroorganisme patogen akan senantiasa berubah. Seperti halnya kita, mereka juga adalah spesies yang selalu ingin survive,” jawab Rusyad.
Ia lalu membeberkan penjelasannya, yang intinya semua spesies secara naluriah tidak ingin punah.
“Semuanya berkompetisi untuk adaptif terhadap perubahan lingkungan,” katanya.
“Mereka juga makin kompleks, karena begitulah hakekat evolusi. Spesies tersusun oleh gen-gen. Watak gen, seperti penuturan Richard Dawkins, itu egois,” lanjut pakar yang dijuluki “ahli kubur” ini.
“Misalnya saat kita menemukan vaksin atau obat untuk menghalau penyakit oleh mikroorganisme patogen, tak berselang sangat lama, mereka bisa bermutasi,” jelas pria asal Surabaya ini.
“Ya, Covid saat ini adalah contoh terbaik. Covid itu telah lama ada, dan kita mampu mengatasinya; saat ini ada Covid-19 yang kita terus pahami dan jinakkan,” beber Rusyad.
• Kabar Gembira di Tengah Pandemi Virus Corona, Dua Pasien Covid-19 di Bantul Dinyatakan Sembuh
“Lawan dan memusnahkannya? Tentu tak semudah itu kita melawannya. Alam memiliki mekanismenya. Jadi? Ya seperti dalam evolusi, mungkin kita ko-eksis, hidup berdampingan dengan nyaman, karena semua ingin eksis,” kata murid an pernah jadi asisten Prof Dr T Jacob ini.
Terkait soal lain, menyangkut kelangsungan evolusi dan keberhasilan hidup spesies manusia, Rusyad menjelaskan, sampai saat ini memang meninggalkan beberapa risiko.
Perubahan diet manusia dari berkecenderungan diet nabati (folivora dan frugifora) ke makin meningkatnya diet hewani, dari herbivora ke makin pemakan daging, yakni kecenderungan omnivora makin carnivore, disinyalir memicu meningkatnya kapasitas/ volume otak dan kecerdasan.
Kecerdasan manusia yang diwarisi dari para leluhur saat ini harus ditebus dengan makin meningkatnya risiko penyakit cardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah).
“Kita mewarisi pola diet leluhur kita yangg tak bisa menjauhi daging,” paparnya. Seperti risiko penyakit cardiovaskuler, menurut Rusyad, manusia modern juga menerima warisan patologi vertebra dan coxae/pelvis (punggung dan panggul).
Indikasi paling umum adalah encok. Risiko ini diterima manusia modern karena tubuhnya makin bipedal.
Hewan menurutnya tidak mengalami ini, karena beban tubuhnya terbagi merata secara horisontal yang ditopang empat ekstremitasnya (awam menyebut berkaki empat).
Manusia yangg bipedal membebankan bobot tubuhnya pada coxae/pelvis (panggul) dan dua ekstremitasnya pada sumbuh tengah tubuh.
Memusatnya beban itu disebut Rusyad biang dari kumatnya encok.
“Makin tua makin encoken. Aduh dik, encokku kumat!" kata Rusyad menirukan iklan radio yang dulu begitu populer. Efek lain adalah terkait proses kehamilan dan persalinan bagi perempuan.
Coxae/pelvis manusia (perempuan) makin membundar, pendek dan melebar.
• UGM Kembangkan Alat Sterilisasi Masker N95 dengan Gelombang Sinar UV-C
Kondisi ini berakibat pada persalinan yg makin prematur.
Bayi-bayi manusia kini menurut Rusyad lahir lebih cepat daripada bayi-bayi leluhurnya.
“Sekitar usia kehamilan 9 bulan sudah pingin keluar dari rumah awalnya. Tak kerasan berlama-lama dalam rahim. Karena lahir lebih cepat, jadi bersifat premature, maka bayi-bayi manusia sangat rentan,” katanya.
Kondisi ini memerlukan perawatan dan pengasuhan sangat panjang.
Di sini panjangnya pengasuhan karena kondisi prematur itu, otak masih perlu pertumbuhan dan perkembangan, menguntungkan dalam proses pembelajaran (internalisasi, enkulturasi, sosialisasi) lebih jauh.
Singkatnya manusia menjadi makin cerdas.
Jadi menurutnya, penyakit itu produk ketidakseimbangan lingkungan, yakni lingkungan di badan dan luar.
Oleh karena itu, filosofi sederhana paramedis (dokter, dokter gigi) adalah membantu untuk menyeimbangkan lingkungan itu.
Jika seimbang lagi lingkungannya, maka di sana ada kesembuhan.
Otak kita yg makin membesar, volume otak manusia modern saat ini sekitar 2.200 cc.
• Ahli Epidemiologi UGM Sebut PSBB Bukan Cara Terbaik
Konsekuensinya, selubung atau pembungkusnya, yaitu tengkorak makin menipis.
Gambarannya jika ruang itu terisi sedikit, maka dindingnya masih tebal; namun jika ruangan itu makin terisi sampai mendesak begitu, maka dindingnya makin menipis.
“Itulah kondisi otak dan tengkorak kita. Simpanse dan orang utan berkapasitas otak sekitar 450 cc. Homo erectus berkapasitas otak, termuda ke tertua aktikuitasnya, sekitar 1.000 – 1.500 cc,” katanya.
Di sini kepala atau tengkorak manusia modern rawan cedera.
Apalagi jika cedera itu sampai mengenai otaknya.
Ibaratnya jika simpanse atau orang utan kejatuhan kelapa pada kepalanya, mungkin mereka hanya geleng-geleng kepala.
Jika Homo erectus kejatuhan kelapa pada kepalanya, mungkin hanya benjut saja.
Nah, jika kita yang kejatuhan kelapa pada kepala kita, mungkin langsung klenger dengan sedikit sadar membayangkan ada bintang-bintang berkeliling, lalu pingsan,” kata Rusyad. (Tribunjogja.com/xna)