Update Corona di DI Yogyakarta
PP Muhammadiyah Sebut Tidak Mudik Adalah Jihad Kemanusiaan
Muhammadiyah memandang tidak mudik untuk menghindari meluasnya wabah Covid-19 adalah jihad kemanusiaan.
Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia mengadakan Rapat Koordinasi Konsultasi Publik Pedoman dan Petunjuk Teknis Pengendalian Transportasi dalam rangka Covid-19 melalui telekonferensi, Selasa (7/4/2020) sore.
Materi pembahasan dalam rapat ini adalah mudik Lebaran 1441 H.
Rapat tersebut diikuti oleh para pejabat di beberapa kementerian dan badan negara yang terkait langsung dalam penanganan dampak wabah Covid-19.
Beberapa perwakilan organisasi masyarakat, yaitu Muhammadiyah dan NU, serta individu juga hadir dalam rapat yang berlangsung dari pukul 15.00-17.00 WIB.
• Antisipasi Penyebaran Corona, Muhammadiyah Desak Pemerintah Tegas soal Larangan Mudik Lebaran 2020
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam rapat tersebut diwakili oleh Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB), Arif Jamali Muis yang mengikuti rapat dari Kantor PP Muhammadiyah Cik Di Tiro Yogyakarta.
Dalam kesempatan tersebut, Arif menyampaikan pokok-pokok pandangan Muhammadiyah terkait mudik lebaran dalam kondisi wabah Covid-19 saat ini.
“Muhammadiyah punya perspektif dalam menyikapi mudik berdasarkan maqasidus-syar’i (prinsip dasar dan tujuan dalam syariat), yaitu masuk kategori hifdzun nafs (memelihara jiwa). Berdasarkan itu maka Muhammadiyah berpendapat mudik sebaiknya dilarang karena bukan peribadatan,” katanya melalui rilis tertulis yang disampaikan Rabu (8/4/2020).
Lebih lanjut, Arif menyampaikan dasar pendapat tersebut ada dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 195 yang menyebutkan ‘dan janganlah kalian jatuhkan diri kalian dalam kebinasaan dengan tangan kalian sendiri dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik’.
“Maka dalam konteks pemahaman tersebut, bisa dikatakan bahwa tidak mudik untuk menghindari meluasnya wabah Covid-19 adalah jihad kemanusiaan,” tuturnya.
Muhammadiyah juga memandang bahwa pemerintah (selaku pemegang otoritas) ketika melarang mudik perlu menyiapkan konsekuensinya, yaitu pengaturan yang tegas perihal tidak boleh mudik dan aspek teknisnya.
• Kabar Terbaru dr Tirta, Keluar RS Nyanyikan Lagu Karangan Sendiri & Siap Kembali Lawan Virus Corona
Pertama, membatasi mobilitas orang sekaligus moda transportasi umum dan moda pribadi.
Kedua, aspek non-teknis, seperti kebijakan ganti cuti bersama, insentif atau jaring pengamanan sosial kepada pekerja sektor transportasi (supir, awak angkutan, dan lain-lain).
Perlu diperhatikan juga konsekuensi jika mudik diperbolehkan pemerintah.
Ada beberapa konsekuensi selain yang diatur dalam draft pemerintah, yaitu potensi meningkatnya konflik untuk daerah tujuan mudik karena banyak komunitas menolak para pemudik.
Sebaiknya, persetujuan dari daerah tujuan mudik juga menjadi dasar izin untuk mudik.
Kalau pemudik tidak diterima komunitas tujuan mudik jelas akan menimbulkan masalah sosial baru.
“Potensi konflik juga akan terjadi saat arus balik. Contohnya, di satu di antara RT di Yogyakarta, Ketua RT membuat perjanjian bagi warga diizinkan untuk mudik dengan catatan tidak boleh kembali lagi ke RT-nya sebelum wabah selesai,” imbuh Arif.
Arif juga menyampaikan pernyataan bahwa pemudik berstatus ODP dan ‘dapat’ dikarantina 14 hari itu bias.
• Pemudik Masuk Yogyakarta Wajib Penuhi Syarat Administrasi Ini, Jika Tidak Diminta Balik
“Seharusnya kata ‘dapat’ diganti diganti ‘wajib’ dan pemerintah juga harus menerbitkan petunjuk teknis karantina warga pemudik itu beserta insentif fasilitas karantina. Sampai kampung dikarantina 14 hari di sebuah tempat karantina misalnya di tempat yang telah disediakan pemerintah,” ungkapnya.
Dia menambahkan, itu pun dengan catatan pulang 15 hari sebelum hari raya.
Kalau mepet, pemudik akan melaksanakan Idulfitri di karantina.
Di kesempatan lain, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nasir menyampaikan jangan sampai ormas dan tokoh agama diminta meyakinkan warga untuk tidak mudik, sementara pemerintah sendiri membolehkan dan tidak melarang warga untuk mudik.
“Kalau memang pemerintah mengizinkan warga mudik, biarlah tokoh agama berhenti mengimbau warga, sehingga segala urusan Covid-19 menjadi sepenuhnya urusan pemerintah,” katanya. (TRIBUNJOGJA.COM)