Jawa
Ombudsman RI Tindaklanjuti Ganti Rugi Lahan eks Dua Desa Terdampak Erupsi Merapi 1961
Tim pengawasan akan dibentuk di tingkat Kabupaten Magelang untuk mengawasi soal penyelesaian ganti rugi warga di desa terdampak bencana Gunung Merapi
Penulis: Rendika Ferri K | Editor: Ari Nugroho
Laporan Reporter Tribun Jogja, Rendika Ferri K
TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Tim pengawasan akan dibentuk di tingkat Kabupaten Magelang untuk mengawasi soal penyelesaian ganti rugi warga di desa terdampak bencana Gunung Merapi pada tahun 1961 silam, yakni di eks dua desa di Kecamatan Srumbung, Desa Kali Gesik dan Desa Ngori.
Pada tahun 1961, terjadi letusan di Gunung Merapi, menyebabkan desa tersebut tak dapat dihuni lagi.
Pemerintah mengambil langkah untuk mengosongkan desa tersebut.
Warga ditransmigrasikan ke Lampung.
Seiring waktu, kawasan tersebut ditetapkan daerah rawan bencana dan dilarang untuk hunian.
Warga yang dahulu tinggal di sana pun menagih ganti rugi yang hingga saat ini belum terealisasikan.
Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu, mengatakan, pihaknya sudah bertemu dengan Bupati Magelang dan berkoordinasi dengan Pemkab Magelang dalam rangka percepatan dan penyelesaian Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) untuk penyelesaian ganti rugi korban Merapi.
• Asyiknya Menjelajah Eropa di Agrowisata Bhumi Merapi Kaliurang
Dalam pertemuan yang dilaksanakan pada Kamis (23/1) di Kantor Bupati Magelang tersebut, pihaknya menindaklanjuti pertemuan sebelumnya di tingkat provinsi Jawa Tengah.
Tim Pengawasan tingkat Kabupaten akan dibentuk untuk mengendalikan supaya tidak ada proses jual beli tanah di lahan tersebut.
"Alhamdulillah di pertemuan ini kemudian selangkah lebih maju lagi menindaklanjuti dari pertemuan sebelumnya di provinsi. Nanti akan dibentuk tim pengawasan di tingkat kabupaten. Pengawasan itu untuk mengendalikan supaya tidak boleh ada proses jual beli," kata Ninik, Kamis (23/1/2020) seusai bertemu Bupati Magelang, Zaenal Arifin di Kantor Bupati Magelang.
Ninik mengatakan, Tim pengawasan ini untuk memastikan bahwa tidak boleh lagi ada jual beli di atas lahan eks dua desa dari empat desa yang sudah ditetapkan oleh provinsi sebelumnya sebagai kawasan yang terlarang di dalam daerah bencana.
Meski demikian, masyarakat masih boleh memanfaatkan lahan yang dimaksud.
Di dalam fungsi pengawasan itu, salah satu tugas yang penting adalah untuk melakukan pendataan ulang jumlah warga, objek-objek, termasuk beberapa lahan yang sudah pindah tangan dari pemilik sebelumnya.
• Sejumlah Mal Tutup Akibat Banjir, HPPBI Tuntut Pemprov DKI Jakarta Berikan Ganti Rugi
"Dari hasil-hasil ini nanti kemudian diharapkan provinsi kami minta untuk membentuk tim terpadu dengan melibatkan BPN dan seterusnya agar kemudian dapat diketahui sebetulnya luasan kawasan lahan yang terdampak ini seberapa besar dan kemudian siapa yang memiliki penguasaan terhadap lahan ini kalau kemudian dinyatakan sebagai lahan yang memang tidak boleh lagi dihuni, tapi menjadi kawasan rawan bencana," tutur Ninik.
Lanjut Ninik, tugas pemerintah pusat untuk menetapkan, kemudian nanti bagaimana bentuk kompensasi atau ganti rugi bagi orang-orang yang memang masih belum mendapatkan dari proses jual beli dan lain sebagainya.
Meski demikian, pihaknya masih menunggu hasil dari Pemkab dalam melakukan pendataan.
"Kejadian sudah lama tahun 1961, jadi tidak bisa grusa-grusu. Di satu sisi, warga yang dulu menjadi korban, keluarga, turunan, mungkin ahli waris, berpindah ke Lampung dengan kebijakan transmigrasi. Mereka masih merasa bagaimana dengan ganti rugi lahan yang diposisikan sebagai lahan terdampak dan lahan kawasan terlarang tersebut. Itu kira-kira, tapi ini kan masih upaya karena proses ini tidak bisa cepat," katanya.
Ninik pun meminta kerja sama dengan warga untuk tidak melakukan proses jual beli apapun di lahan tersebut, tetapi tetap boleh memanfaatkan sepanjang di luar lokasi-lokasi yang rawan bencana.
Permasalahan ganti rugi yang belum tuntas ini sendiri berawal dari salah satu warga terdampak yang sekarang berada di Lampung.
"Iya, aduan dari salah satu warga yang sekarang di Lampung, makanya ini harus sudah kami cek legal standingnya, dia salah satunya," tuturnya.
Sementara itu, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Pemerintah Kabupaten Magelang, Nanda Cahyadi Pribadi, mengatakan, Pemkab Magelang siap membantu dalam permasalahan eks Kali Gesik ini.
Segenap upaya dilakukan sesuai arahan dari Ombudsman RI.
"Hasilnya sudah mengerucut, ada lebih konkret, pemkab sesuai arahan Ombudsman dan Bupati akan membentuk tim pengawasan. Tugasnya mengawasi dan menginventarisasi tentang obyek-obyek tanah yang saat ini , sudah ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana dan daerah terlarang sesuai dengan Keputusan Gubernur sebelumya bahwa kawasan itu harus dilindungi dan tidak boleh ada aktivitas hunian dan sebagainya, sehingga menghindarkan dari bencana," kata Nanda.
Pengawasan ini termasuk untuk menginventarisasi obyek-obyek lama, tanah-tanah yang masih dimanfaatkan warga, dan nanti hasilnya akan dilaporkan ke Ombudsman.
Pemkab juga berkoordinasi dengan Pemprov, terkait penetapan lahan yang akan dibentuk oleh tim provinsi.
• BPPTKG: Erupsi Merapi Terakhir Tergolong Erupsi Kecil, Potensi Selanjutnya Masih Ada
"Mudah-mudahan bisa membantu dalam rangka berkorodinasi menyelesaikan permasalahan yang akan dibentuk tim terpadu oleh provinsi jawa tengah. Ada eks dua desa, yang dituntut oleh warga ini eks dua desa. Desa Kali gesik dan Desa Ngori," katanya.
Kondisi lahan eks dua desa tersebut, secara geografis, sudah sulit diidentifikasi lagi karena sudah berubah. Letusan yang terjadi tahun 1961, kemudian letusan setelahnya membuat lahan susah untuk pengukuran.
Hal ini menjadi kendala dalam tim. Meski begitu, permasalahan tersebut mesti diselesaikan.
"Karena letusan 1961, hingga sekarang sudah beberapa kali letusan ya, sehingga, tidak bisa diidentifikasi lagi, bentuk sudah berubah, batas si A dan si B sudah sangat susah untuk dilakukan pengukuran, ini yang menjadi kendala juga dalam penyelesaian masalah. Mudah-mudahan dengan adanya Ombudsman, bisa menyelsaikan masalah tersebut," katanya.(TRIBUNJOGJA.COM)