204 Tahun Letusan Tambora
204 Tahun Letusan Tambora : Kesaksian Orang Pertama yang Mendaki Tambora Sesudah Meletus Hebat
Butuh waktu 32 tahun bagi Tambora untuk diketahui keadaan puncaknya sesudah letusan super 5-11 April 1815.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
204 Tahun Letusan Tambora : Kesaksian Orang Pertama yang Mendaki Tambora Sesudah Meletus Hebat
TRIBUNJOGJA.COM – Butuh waktu 32 tahun bagi Tambora untuk diketahui keadaan puncaknya sesudah letusan super 5-11 April 1815. Orang yang berhasil mencapai puncak adalah Heinrich Zollinger.
Ia menapakkan kakinya di bibir kaldera raksasa Tambora pada 1847. Biaya pendakian itu sangat mahal untuk ukuran masa waktu itu.
Selain pencinta alam, Zollinger juga ahli botani asal Swiss. Ia lahir di Feuerthalen, 22 Februari 1818. Jadi saat Tambora meletus dahsyat, Zollinger belum lahir.
Baca artikel sebelumnya :
204 Tahun Letusan Tambora : Ketika Kolom Api Raksasa Menyapu ke Segala Penjuru
204 Tahun Letusan Tambora : Tanda-tanda Itu Datang Tiga Tahun Sebelum Puncak Letusan
Ia mempelajari botani antara 1838-1839 di Universitas Jenewa, tapi putus sekolah karena alasan keuangan. Tahun 1842 dia tiba di Jawa dan bekerja di kebun botani milik pemerintah kolonial.
Sesudah mendaki Tambora pada 1847, Zollinger pulang ke Swiss, namun kembali lagi ke Jawa pada 1855 bersama istri dan kedua anaknya.
Zollinger meninggal pada 19 Mei 1859 di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan karena sakit malaria berkepanjangan.
Dalam laporan ekspedisi Zollinger, ia mencatat flora Pulau Sumbawa mengalami degenerasi sangat tajam. Banyak tanaman yang tadinya tumbuh subur di sekeliling gunung itu musnah.
Dahsyatnya Letusan Gunung Tambora Menyebabkan Hujan Lebat di Seantero Eropa
Hingga hampir setengah abad sesudah letusan, tempat-tempat yang tadinya rimbun oleh pepohonan rapat, masih berselimut pasir dan debu.
Dalam perjalanannya menuju puncak, Zollinger melihat jejak-jejak nyata letusan. Endapan debu sangat luas, dan desa-desa kosong serta kuburan-kuburan penduduknya.
Ladang-ladang yang tadinya penuh hamparan padi, berubah jadi sabana ilalang dan perdu. Dari warga yang selamat, Zollinger mendapati ada perubahan suhu udara yang cukup ekstrem.
Menurut Zollinger, kepunahan vegetasi membuat udara lebih kering dan panas. Musim kemarau lebih panjang dan sumber-sumber air ikut mengering.
“Puncak gunung seluruhnya telanjang mulus, tetapi di sanalah dia melihat kawah gunung Tambora,” tulis Zollinger dikutip antropolog Bernard de Joung (Letusan Tambora 1815: 2012).
Dua Letusan Gunung Api di Indonesia yang Lebih Dahsyat dari Erupsi Gunung Krakatau 1883
Sesudah Zollinger, ada beberapa pendaki yang mencoba meneliti dan menelusuri Tambora. Antara lain Pannekoek van Rheden (1913), dan Petroeschesvky (1947).