204 Tahun Letusan Tambora
204 Tahun Letusan Tambora : Kesaksian Orang Pertama yang Mendaki Tambora Sesudah Meletus Hebat
Butuh waktu 32 tahun bagi Tambora untuk diketahui keadaan puncaknya sesudah letusan super 5-11 April 1815.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
Kesaksian mereka masih mirip meski sudah melihat ada tanda-tanda kehidupan flora di sekitar lereng dan puncak serta kaldera gunung.
Namun sesudah 100 tahun berlalu, tumbuh-tumbuhan itu tetap jarang. Tambora tidak mampu sepenuhnya bangkit seperti sebelum 1815.
Petroeschesvky menduga kandungan gas belerang menyebabkan flora tidak bisa tumbuh berkembang baik di kawasan puncak dan lereng-lerengnya.
Letusan Tambora 1815 yang masuk kategori indek letusan maksimal 9 VEI, pada akhirnya tak hanya mempengaruhi segala sesuatu di Sumbawa, Sumba, Bali, Jawa, Kalimantan dan sekitarnya.
Gelegar Letusan Gunung Krakatau 1883 : Suara Dahsyat yang Mengelilingi Dunia 4 Kali
Belahan barat bumi dan Amerika utara, merasakan dampak tak kalah hebatnya. Partikel debu vulkanik memenuhi lapisan atmosfer dan stratosfer.
Suhu turun dan membuat musim panas di Eropa dan Amerika pun tetap sangat dingin. Kota-kota di belahan utara Amerika, seperti New Haven, Connecticut mengalami bulan terdingin.
Perubahan iklim ekstrem itu menyebabkan gagal panen yang mengancam ketersediaan stok pangan. Harga-harga kebutuhan pokok pangan melambung tinggi.
Ternak dan hewan piaraan mati karena suhu dingin ekstrem dan kelangkaan pakan. Situasi abnormal juga terjadi di Inggris, Irlandia, Belanda, Jerman, Prancis, dan Swiss.
Kegagalan panen juga membawa benua Eropa ke tubir bencana kemanusiaan hebat yang akan mempengaruhi semua aspek kehidupan warganya.
Setelah studi bertahun-tahun, sebagian besar ahli bersepakat, debu vulkanik dan zat kimia yang dimuntahkan Tambora benar-benar mempengaruhi suhu dan iklim.
Benyamin Franklin menjadi ilmuwan pertama yang menautkan letusan gunung berapi dengan penurunnya suhu udara.
Ditemukan Tulang Prajurit Pada Perang Besar Saat Tambora Meletus
Sementara ilmuwan WJ Humprey dari Jawatan Meteorologi AS menyimpulkan letusan Tambora 1815 mempengaruhi suhu udara bumi menjadi begitu jeleknya.
Ahli meteorology Hubert Lamb mengembangkan teori Dust Veil Index (DVI). Intinya, jumlah partikel yang dimuntahkan gunung berapi bisa menentukan jumlah pengaruh letusan terhadap suhu udara.
Letusan Krakatau 1883 memiliki indek DVI 1.000. Sedangkan Tambora mencapai angka 4.200 DVI. Jadi letusan Tambora 4,2 kali lebih kuat ketimbang Krakatau.
Selain suhu udara menjadi lebih dingin di belahan barat bumi, partikel debu vulkanik juga mempengaruhi penampakana langit.