Jawa
Kisah Pejuang Lingkungan dari Magelang yang Hidupkan Lagi Ratusan Mata Air di Lereng Merapi
Berkat kegigihan Yatin, lahan yang semula rusak dan tandus akibat penambangan kini menjadi hijau dan subur kembali.
Penulis: Rendika Ferri K | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Rendika Ferri K
TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Satu lagi sosok pejuang lingkungan dari Kabupaten Magelang yang patut diberikan apresiasi.
Adalah Yatin (46), Kepala Desa Argomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, yang telah berjasa dalam mengembalikan kelestarian lingkungan hidup di lereng Gunung Merapi.
Berkat kegigihan Yatin, lahan yang semula rusak dan tandus akibat penambangan kini menjadi hijau dan subur kembali.
Pepohonan bertumbuhan.
Baca: On Trend: 6 Gaya Mix and Match Koleksi Terbaru Gaudi Clothing
Ratusan sumber mata air yang mengering, kini hidup kembali.
Ia juga menerbitkan Peraturan Desa (Perdes) yang isinya menolak pertambangan di Desa Argomulyo.
Tak ada lagi tambang alat berat yang merusak lingkungan di desa di lereng Merapi tersebut.
Baca: Foto Viral : Fotografer dan Model Berkubang Lumpur untuk Protes Jalan Rusak
Ditemui Tribunjogja.com di Kantor Pemerintah Desa Argomulyo, Yatin menceritakan bagaimana keadaan di desa Argomulyo setelah banyak bermunculan penambangan pasir menggunakan alat berat di lingkungan desa.
Bertahun-tahun, penambangan itu telah merusak lingkungan tempat tinggalnya yang semula asri, menjadi tandus.
"Pertambangan dilakukan di semua penjuru desa. Semua ditambangi menggunakan alat berat. Akibatnya, lingkungan menjadi rusak. Keadaan itu diperparah dengan banyak penebangan pohon. Pohon yang besar ditebangi. Tanah menjadi kering, tanpa vegetasi yang melindunginya," ujar Yatin, Selasa (26/2/2019).
Baca: Buruh Serabutan di Magelang Nyambi Jualan Tembakau Gorila Oplosan
Yatin juga menceritakan penambangan kerap membawa konflik antara warga.
Ia menceritakan pernah ada kendaraan bighoe sampai dibakar oleh warga karena konflik pertambangan tersebut.
Ia juga menuturkan jalur evakuasi yang rusak parah karena dilewati truk-truk penambang pasir tersebut.
"Jalur evakuasi, rusak parah. Aspal sudah ga ada, terkelupas semua. Masyarakat sengsara dan tidak banyak diuntungkan dengan pertambangan. Sebanyak 50-70 lebih truk setiap hari, dengan tambang memakai bighoe. Selain itu banyak konflik, dan dampaknya pergaulan negatif anak-anak yang lebih memilih bekerja di area tambang, menghadang truk daripada sekolah," kata Yatin.