Wali Murid SMP N 4 Pakem Protes Batasan Zonasi
Sedangkan zonasi diterapkan sebagai upaya pemerataan calon siswa, sekaligus mengurangi tingkat mobilitas penduduk.
Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Tahun ini, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY mulai menerapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017 tentang penerimaan peserta didik baru dengan menggunakan metode zonasi.
Untuk tingkat SMA di wilayah DIY, zonasi yang ditetapkan adalah sejauh 5 kilometer, sebagai titik pusat zona yang ditentukan dari sekolah tujuan.
Sedangkan zonasi diterapkan sebagai upaya pemerataan calon siswa, sekaligus mengurangi tingkat mobilitas penduduk.
Namun, langkah yang ditempuh pemerintah tersebut, sampai sejauh ini, masih mendapat pertentangan dari sejumlah pihak.
Salah satu pertentangan muncul dari wali murid SMP Negeri 4 Pakem, yang menilai aturan itu sarat akan diskriminasi, kepada masyarakat pinggiran.
Baca: PPDB Sistem Zonasi Dianggap Tidak Adil, Puluhan Orangtua Murid Datangi DPRD
Salah satu wali murid SMP Negeri 4 Pakem, Agung Andi, mengatakan, pihaknya berharap ada penyesuaian terkait zonasi.
Menurutnya, sistem ini tidak mempengaruhi mereka, yang masuk dalam zona sekolah yang diinginkan.
Namun, berbanding terbalik dengannya.
"Kami temukan beberapa ketidakadilan dalam penentuan zonasi ini. Jadi, misal anak saya mau sekolah di SMA Negeri 1, atau 3, itu sudah tidak mungkin, karena rumah saya di cangkringan," katanya, di sela audiensi di Gedung DPRD DIY, Yogyakarta, Rabu (21/3).
"Ada diskriminasi dalam dunia pendidikan kita. Siapa sih yang pengen dilahirkan di Cangkringan? Atau di Panggang sana? Tidak ada tentunya," tambah Agung.
Baca: Nilai Ujian Tetap Jadi Prioritas dalam Zonasi Sekolah di Yogya
Hal tersebut, menurutnya, berdampak pada mentalitas para calon peserta didik, yang seketika langsung pesimis, melihat peluang menuntut ilmu di sekolah idaman, hampir dipastikan tertutup.
Ia berpendapat, seandainya anak tidak diterima karena faktor nilai, itu bukan masalah.
"Tapi, jangan terus dimatikan sebelum berkembang gitu. Ini pengaruhnya besar sekali, anak-anak di desa yang pinter-pinter itu jadi down. Mereka merasa, buat apa belajar, wong berapapun nilainya, paling sekolahnya juga cuma di situ," ujarnya.
Walau begitu, Agung menilai, sistem zonasi merupakan sebuah keniscayaan, yang sudah saatnya diterapkan.
Pasalnya, ia tidak memungkiri, untuk mewujudkan pemerataan pendidikan, salah satu langkah yang harus ditempuh, adalah sistem zonasi.
"Tapi, karena sistem pendidikan kita sudah dibangun sejak puluhan tahun lalu, dengan sistem seperti itu, tanpa memandang zonasi, jadi ya tidak bisa langsung. Dalam artian, harus ada pemerataan kualitas sekolahnya dulu," jelasnya.
Baca: Wali Kota Yogyakarta Janjikan Perwal Zonasi Terbit Awal April
Sementara itu, wakil komite SMP Negeri 4 Pakem, Imam Sujani, menuturkan bahwa dengan jarak zona 1 antara 0-5 kilometer, sama saja menutup peluang masyarakat yang tinggal di pinggiran untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah favorit.
"Kita harus jujur mengakui, di DIY, sekolah idaman itu kan kebanyakan di kota. Teman-teman yang hadir di sini, berada di luar 5 kilometer. Ada yang dari Pakem, Cangkringan, hingga Tempel. Mereka tentu keberatan, protes, karena jadi korban zonasi," tuturnya.
Imam mencermati, dalam Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017, sama sekali tidak dicantumkan batasan zonasi dan basisnya.
Sehingga, Pemda DIY harus lebih bijak dalam menerapkan batasan tersebut, untuk menghindari munculnya kawasan blankspot.
"Patokan 0-5 untuk zona 1 itu jangan diterapkan. Kita sudah melakukan kajian, ada 35 desa yang blankspot, atau tidak punya zona 1. Nah, ini kan diskriminatif, tentu harus ditinjau ulang. Standar zonasi memang relatif, yang penting jangan ada blankspot," tegasnya.
"Hasil kajian kami, untuk menghindari blankspot, zona 1 harusnya 12,8 kilometer. Tapi, kalau ngga mau repot, ya DIY jadikan satu zona saja. Itu tidak melanggar Permendikbud kok, kan itu tidak diatur, jadi kewenangan daerah," pungkasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)