Kronologi Terbongkarnya Kebohongan Dwi Hartanto, 6 Fakta Kebohongan dan Permohonan Maafnya

Ia juga disebut sebagai “Penerus Habibie”, Presiden Ke-3 Indonesia dan tokoh besar dalam bidang teknologi

Editor: Mona Kriesdinar
TribunStyle/Kolase
Dwi Hartanto 

Pada tanggal 17-24 Desember 2016 lalu, saya mendapatkan kehormatan diundang oleh Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk menghadiri kegiatan Visiting World Class Professor. Saya bertemu dengan lebih dari 40 ilmuwan diaspora Indonesia lainnya yang mengajar dan meneliti di berbagai belahan dunia.

Banyak diantaranya ilmuwan tersebut telah saya kenal sejak lama khususnya yang terlibat dalam beragam kegiatan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4). Saya pun bertemu dengan banyak teman ilmuwan baru dan beberapa diantaranya masih muda termasuk Dwi Hartanto.

Pertemuan awal saya dengan ybs. tentunya sangat membanggakan saya mengingat usianya yang masih muda tetapi sudah menyandang jabatan sebagai Assistant Professor di TU Delft (Technische Universiteit Delft / Delft University of Technology) dalam bidang Aerospace. Setelah kegiatan selesai, saya tidak sempat lagi berkomunikasi langsung dengan ybs. kecuali melalui WA group dari para alumni kegiatan Visiting World Class Professor.

Dalam beberapa kesempatan, saya sempat pula membaca sepak terjak Dwi Hartanto melalui media massa diantaranya pertemuannya dengan Presiden RI ke-3 B.J. Habibie. Berita di internet yang saya baca adalah bahwa ybs. ditelpon oleh petugas protokoler Bapak B.J. Habibie untuk mengajak bertemu. Pertemuan tersebut disebutkan terjadi pada awal Desember 2016 di salah satu restoran di Den Haag, Belanda. Dari berita ini, saya semakin bangga untuk memiliki teman ilmuwan yang akan meneruskan sepak terjang Bapak B.J. Habibie dalam dunia teknologi dirgantara di Indonesia.

Kebohongan mulai terbongkar

Rasa kebanggaan dan kekaguman saya terhadap Dwi Hartanto “terganggu” ketika saya menerima rangkaian pesan dari WA group Pengurus I-4 yang membahas tentang ybs. Pada tanggal 10 September 2017 lalu, salah seorang anggota pengurus I-4 secara terpisah mengirimkan dua dokumen lengkap berisikan investigasi terhadap beragam klaim yang dibuat oleh Dwi Hartanto.

Dokumen pertama terdiri 33 halamam berisikan beragam foto-foto aktivitas Dwi Hartanto termasuk dari halaman Facebook-nya, link ke berbagai website tentang ybs, transkrip wawancara ybs. dengan Mata Najwa pada bulan October 2016 dan korespondensi email dengan beberapa pihak untuk mengklarifikasi aktivitas yang diklaim oleh Dwi Hartanto. Dokumen kedua sebanyak 8 halaman berisikan ringkasan investigasi terhadap klaim yang dibuat oleh Dwi Hartanto termasuk latar belakang S1, usia, roket militer, PhD in Aerospace, Professorship in Aerospace, Technical Director di bidang rocket technology and aerospace engineering, interview dengan media international, dan kompetisi riset.

Kedua dokumen tersebut disiapkan oleh beberapa teman Indonesia di TU Delft yang mengenal Dwi Hartanto secara pribadi. Saya menilai mereka sebagai pihak yang mengetahui kebohongan publik yang dilakukan oleh Dwi Hartanto dan menginginkan agar kebohongan ini dihentikan. Mereka sudah menemui Dwi Hartanto dan memintanya agar meluruskan segala kebohongannya tetapi tidak ditanggapi dengan serius oleh ybs. Mereka pun mencari cara-cara lainnya untuk menghentikan kebohongan ini. Salah satunya adalah menghubungi saya dan mereka pun memberikan ijin kepada saya untuk menggunakan kedua dokumen dalam menyiapkan tulisan ini.

Integritas seorang ilmuwan

Berdasarkan kedua dokumen yang saya dapatkan tersebut bidang keilmuwan Dwi Hartanto adalah masih seorang mahasiswa PhD di bidang Virtual Reality dan bukanlah seorang assistant professor in Aerospace Engineering. Kabar terbaru yang saya terima adalah bahwa Dwi Hartanto dijadwalkan untuk dissertation defense pada tanggal 13 September 2017 tapi kemudian kegiatan tersebut ditunda. Pihak TU Delft sedang melakukan investigasi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Dwi Hartanto.

Saya mengetahui kasus kebohongan public yang dilakukan oleh Dwi Hartanto ini dan tidak bisa diam saja sampai kasus ini dilupakan oleh masyarakat. Bilamana saya diam berarti saya ikut “membenarkan” kebohongan yang dibuat olehnya.

Keterlibatannya dalam kegiatan Visiting World Class Professor lalu adalah kerugian yang mesti ditanggung oleh pembayar pajak dan warga Indonesia. Perjalanannya ke Indonesia dibiayai oleh panitia dan diberikan honor atas aktivitasnya di dalam kegiatan tersebut. Dwi Hartanto mesti bertanggung jawab atas kebohongannya yang merugikan banyak pihak di Indonesia.

Kebohongan yang dilakukan oleh Dwi Hartanto juga merusak nama baik ilmuwan secara umum. Ilmuwan adalah suatu profesi yang memerlukan integritas dan kode etik yang tinggi. Bidang keilmuan tidak akan berkembang bilamana pelakunya tidak memiliki integritas untuk menjaga kejujuran dan objektifitas bidang keilmuan.

Bilamana kebohongan ini berlanjut dan Dwi Hartanto diberikan posisi di bidang Aerospace Engineering yang bukan merupakan keahliannya, tentunya akan sangat membahayakan keselamatan jiwa banyak orang.

Dari dokumen yang saya terima, saya membaca transkrip wawancara dalam acara Mata Najwa bulan October 2016. Saya pun sempat menonton video rekaman wawancara tersebut. Dwi Hartanto mengakui bahwa dia adalah seorang postdoctoral dan assistant professor dan berkecimpung dalam bidang teknologi roket. Dari baris awal wawancara ini, saya sudah yakin dengan kebohongannya. Seorang postdoctoral adalah bukan seorang assistant professor. Kedua posisi ini adalah dua posisi yang berbeda dan tidak bisa seorang menduduki kedua posisi ini bersamaan di satu institusi yang sama.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved