Kim Jong Un Buka Peluang Kembali Berdialog dengan AS, tapi Syaratnya Ini

Korea Utara membuka peluang untuk berunding jika Negeri Paman Sam tersebut berhenti mendesak Pyongyang untuk menyerahkan senjata nuklirnya.

Penulis: Hari Susmayanti | Editor: Hari Susmayanti
Tangkapan layar YouTube KBS News
KORUT UJI DRONE - Tangkapan layar YouTube KBS News, Jumat (19/9/2025) memperlihatkan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengawasi uji coba pesawat tak berawak serang di Kompleks Teknologi Aeronautika Tak Berawak di Pyongyang pada hari Kamis (18/9/2025). 

TRIBUNJOGJA.COM - Korea Utara membuka peluang untuk berunding dengan AS kembali jika Negeri Paman Sam tersebut berhenti mendesak Pyongyang untuk menyerahkan senjata nuklirnya.

Hal itu disampaikan langsung oleh Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un saat berpidato di Majelis Rakyat Tertinggi di Pyongyang pada hari Minggu lalu.

Dalam pemberitaan Kantor Berita Pusat Korea (KCNA), Kim Jong Un menyebut tidak ada alasan bagi negaranya untuk duduk bersama lagi dengan AS jika negara tersebut berhenti mendesak Korea Utara untuk melakukan denuklirisasi.

"Jika Amerika Serikat melepaskan obsesi absurd untuk denuklirisasi kami dan menerima kenyataan, serta menginginkan koeksistensi damai yang sejati, tidak ada alasan bagi kami untuk tidak duduk bersama Amerika Serikat," kata Kim dalam pidatonya di Majelis Rakyat Tertinggi di Pyongyang pada hari Minggu, seperti dikutip Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) seperti yang dilansir Tribun Jogja dari Tribunnews.com.

Dalam momen itu, Kim Jong Un mengaku sudah bertemu tiga kali dengan Donald Trump

"Secara pribadi, saya masih memiliki kenangan indah tentang Presiden AS Trump."

Baca juga: Sejak 2020, Korea Utara Semakin Banyak Jatuhi Hukuman Mati bagi Warga yang Nonton Film Asing

Komentar Kim muncul setelah Trump dan pemimpin Korea Selatan Lee Jae-myung menyatakan kesediaan mereka untuk bertemu dengan mitra mereka dari Korea Utara dalam sebuah pertemuan di Gedung Putih bulan lalu.

"Suatu hari nanti, saya akan bertemu dengannya. Saya menantikan pertemuan dengannya. Dia sangat baik kepada saya," kata Trump saat itu.

Sementara itu, terkait dengan program pengayaan uranium yang dilakukan oleh Korea Utara, negara tersebut diduga sudah memiliki 2000 kilogram uranium.

Stok uranium tersebut merupakan upaya Korea Utara untuk mendukung ambisi Korea Utara memperluas kemampuan senjata nuklirnya dalam beberapa tahun terakhir.

Menteri Unifikasi Chung Dong-young, dalam konferensi pers, mengutip badan intelijen dan perkiraan lain yang dirilis ke publik, Kamis, 25 September 2025 menyebut Korea Utara saat ini tengah mengumpulkan bahan nuklir.

"Sangat mendesak untuk menghentikannya. Bahkan pada saat ini, sentrifus uranium di empat wilayah (di Korea Utara) sedang beroperasi untuk mengumpulkan bahan nuklir," kata Chung.

Dia menyarankan dimulainya kembali kerja sama Korea Utara-AS. Pembicaraan kedua negara dapat menjadi "terobosan" untuk melanjutkan upaya denuklirisasi Korea Utara yang selama ini terhenti.

Sementara itu mengutip NK News, Korea Selatan akan berada dalam risiko serius jika ikut mengembangkan senjata nuklir untuk melawan Korea Utara.

Pyongyang atau bahkan Beijing dapat melakukan serangan pendahuluan ke Korsel selama proses pengembangan.

Dr. Vipin Narang, mantan penjabat asisten menteri pertahanan AS untuk kebijakan luar angkasa, mengatakan kepada NK News bahwa Seoul akan menghadapi periode kerentanan yang berbahaya sebelum menyelesaikan program nuklir dalam negeri, yang menurutnya akan "memberikan nilai pencegahan yang sangat kecil" terhadap persenjataan DPRK yang terus bertambah.

Dia berpendapat, senjata nuklir AS memberikan jaminan keamanan terkuat bagi Korea Selatan.

Dia juga menekankan bahwa Seoul sekarang memiliki peran terstruktur dalam perencanaan pencegahan di bawah Kelompok Konsultatif Nuklir (NCG) gabungan sekutu.

"Saya yakin Presiden Lee juga memiliki pandangan yang sama bahwa senjata nuklir dalam negeri Korea Selatan tidak sesuai dengan kepentingan keamanan [ROK]. AS juga memiliki pandangan yang sama," kata Narang, yang sebelumnya menjabat sebagai wakil ketua NCG.

“Kami yakin bahwa keamanan dan stabilitas di Asia Timur Laut, khususnya di Semenanjung Korea, paling baik diwujudkan melalui hubungan pencegahan yang kuat dan luas, termasuk perluasan pencegahan nuklir AS ke Korea Selatan.”

Di luar risiko militer, Narang mengatakan Korea Selatan dapat menghadapi sanksi ekonomi yang berat jika melanggar kewajibannya berdasarkan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir dengan memperoleh senjata nuklir, yang berpotensi merugikan industri-industri besar seperti semikonduktor dan otomotif.

“Hal itu akan berdampak besar pada ekonomi Korea Selatan, termasuk merek-merek ternama seperti Samsung, Kia, Hyundai, dan LG,” ujarnya dalam sebuah wawancara di podcast NK News.

Ia juga memperingatkan bahwa Seoul yang memiliki senjata nuklir dapat merusak rezim nonproliferasi global, memicu serangkaian pengembangan nuklir di negara-negara seperti Jepang atau Arab Saudi.

Artikel ini sudah tayang di Tribunnews.com.

 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved