Berita Kesehatan
Capek Selalu Disalahin Orang Tua? Begini Dampaknya Saat Hubungan dengan Orang Tua Jadi Toxic
Pernah merasa setiap keputusanmu selalu salah di mata orang tua? Atau, ketika kamu mencoba bicara soal perasaan, malah dianggap drama atau
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Bunga Kartikasari
TRIBUNJOGJA.COM - Pernah merasa setiap keputusanmu selalu salah di mata orang tua? Atau, ketika kamu mencoba bicara soal perasaan, malah dianggap drama atau kurang bersyukur?
Kalau iya, kamu tidak sendiri. Banyak orang tumbuh dalam keluarga yang tampak “baik-baik saja” di luar, tapi sebenarnya menyimpan pola hubungan yang toksik dan melukai batin anak.
Menurut situs Talkspace dan Childhub, perilaku orang tua toksik bisa muncul dalam berbagai bentuk dari kritik halus yang terus-menerus, hingga kontrol berlebihan terhadap hidup anak.
Dampaknya? Tak hanya meninggalkan luka emosional, tapi juga bisa mengganggu kesehatan mental hingga dewasa.
Ketika Kasih Sayang Datang dengan Syarat
Banyak anak tumbuh dengan keyakinan bahwa cinta orang tua selalu tanpa syarat. Sayangnya, hal ini tidak selalu terjadi.
Sebagian orang tua hanya memberi kasih sayang ketika anak memenuhi ekspektasi mereka nilai harus bagus, karier harus sesuai keinginan mereka, atau harus selalu menuruti kehendak keluarga.
Padahal, menurut para ahli, pola asuh seperti ini justru membentuk anak yang cemas, tidak percaya diri, dan sulit mengambil keputusan sendiri.
“Orang tua toksik sering kali tidak sadar bahwa cara mereka mencintai justru membatasi anak untuk tumbuh menjadi individu yang utuh,” tulis terapis Minkyung Chung, MS, LMHC, dari Talkspace.
Baca juga: Kenapa Angka HIV di Klaten Capai 1.598 Kasus, Peran Media Sosial hingga Minimnya Edukasi Kesehatan
5 Pola yang Sering Terjadi di Keluarga Indonesia
Meski ada banyak tipe orang tua toksik, beberapa di antaranya sangat sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di budaya yang menjunjung tinggi hierarki keluarga.
1. Orang tua yang selalu benar
Anak tidak boleh membantah, bahkan untuk hal kecil. Semua keputusan harus mengikuti “kata orang tua”. Hasilnya, anak tumbuh dengan rasa takut berpendapat dan terbiasa memendam emosi.
2. Orang tua pengontrol
Dari pilihan jurusan kuliah sampai pasangan hidup, semua diatur. Tujuannya “demi kebaikan anak”, tapi sebenarnya ini bentuk ketakutan orang tua kehilangan kendali.
3. Orang tua yang mengabaikan perasaan anak
Saat anak curhat, responsnya sering: “Ah, itu cuma lebay” atau “Kamu kurang bersyukur.”
Padahal, pengabaian seperti ini bisa memicu depresi atau kecemasan sosial.
4. Orang tua narsistik
Semua harus tentang mereka. Anak harus jadi cerminan kesuksesan orang tua bukan dirinya sendiri.
Akibatnya, anak merasa hidupnya dijalankan untuk memenuhi ego orang lain.
5. Orang tua yang selalu membandingkan
“Lihat tuh anak tetangga, rajin banget!” Kalimat ini mungkin terdengar sepele, tapi jika diulang terus, bisa melukai harga diri anak dan membuat mereka tumbuh dengan rasa tidak pernah cukup.
Luka yang Terbawa hingga Dewasa
Efek dari hubungan toksik dengan orang tua tidak berhenti di masa kecil. Banyak orang dewasa yang masih merasa bersalah setiap kali menolak permintaan orang tua, takut dianggap durhaka, atau bahkan tidak bisa menentukan pilihan hidup sendiri tanpa restu keluarga.
Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang tumbuh dengan orang tua toksik lebih rentan mengalami:
- Kecemasan dan depresi jangka panjang
- Rasa rendah diri dan takut gagal
- Kesulitan menjalin hubungan sehat
- Kecanduan, perilaku menyakiti diri, atau kelelahan emosional (burnout)
Belajar Menyembuhkan Diri
Menghadapi orang tua toksik tidak berarti harus memutus hubungan. Namun, penting untuk menetapkan batas yang sehat (boundaries) agar tidak terus terjebak dalam lingkaran yang sama.
Berikut beberapa langkah yang disarankan para terapis:
- Sadari bahwa perasaanmu valid. Kamu berhak merasa terluka dan ingin diperhatikan.
- Jangan berusaha mengubah mereka. Fokus pada perlindungan diri sendiri.
- Bangun sistem dukungan. Temukan teman, pasangan, atau konselor yang bisa mendengarkan tanpa menghakimi.
- Rawat diri. Luangkan waktu untuk kegiatan yang menenangkan, seperti menulis jurnal, berjalan, atau meditasi.
- Pertimbangkan terapi profesional. Banyak platform online, seperti Talkspace, menawarkan bantuan dengan biaya terjangkau dan ruang aman untuk bercerita.
Cinta Tidak Seharusnya Menyakitkan
Setiap anak berhak tumbuh dengan kasih sayang yang sehat bukan cinta yang dikaitkan dengan tuntutan, kontrol, atau rasa bersalah.
Menyadari bahwa hubungan dengan orang tua bisa toksik bukan berarti kamu tidak menghormati mereka, tapi tanda bahwa kamu mulai mencintai dirimu sendiri.
Karena pada akhirnya, cinta yang sehat bukan tentang siapa yang paling benar, tapi siapa yang mau saling mendengarkan dan tumbuh bersama.
( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )
Apa Itu Cesium-137? Ancaman Radioaktif yang Bisa Masuk Lewat Makanan |
![]() |
---|
6 Manfaat Makan Pisang di Malam Hari, Benarkah Bisa Membantu Diet? |
![]() |
---|
6 Manfaat Gokil Minum Kopi Hitam di Pagi Hari, Nomor 4 Diam-diam Ampuh! |
![]() |
---|
UPDATE Gejala Covid-19 Varian JN.1 Mirip Flu, Kemenkes Ungkap Fakta Terbaru |
![]() |
---|
Mungkinkah Pembalut Menstruasi Bisa Ramah Lingkungan? Ini Faktanya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.