Sarasehan Nasional Obligasi Daerah, Sri Sultan HB X: Saatnya Daerah Berani Mandiri Secara Fiskal
Sri Sultan HB X menguraikan bahwa daerah berada dalam posisi yang semakin menantang.
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, menegaskan bahwa penerbitan obligasi daerah merupakan langkah strategis yang harus mulai diambil pemerintah daerah untuk mengatasi tekanan pembiayaan pembangunan yang terus meningkat.
Dalam Sarasehan Nasional “Obligasi Daerah sebagai Alternatif Sumber Pembiayaan Daerah dan Instrumen Investasi Publik” di Ballroom Sahid Raya Yogyakarta, Senin (24/11/2025), Sri Sultan menyebut instrumen tersebut sebagai simbol kemandirian fiskal dan kesiapan daerah memasuki ekosistem pembiayaan yang lebih modern.
Dalam paparannya, Sri Sultan HB X menguraikan bahwa daerah berada dalam posisi yang semakin menantang.
Belanja wajib yang naik setiap tahun, terbatasnya ruang pendapatan asli daerah, serta kebutuhan pembangunan jangka panjang yang tak dapat ditunda menempatkan APBD pada tekanan yang konsisten.
“Daerah hari ini dituntut menyediakan layanan berkualitas, membangun infrastruktur strategis, memperkuat digitalisasi, hingga mendukung pertumbuhan yang inklusif dan hijau. Namun ruang fiskal kita terus tergerus. APBD dan transfer pusat tidak lagi cukup menopang semua kebutuhan itu,” ujarnya.
Menurutnya, tantangan tersebut memunculkan urgensi pembiayaan alternatif yang mampu memberikan jangka waktu panjang, kepastian pendanaan, dan fleksibilitas pengelolaan.
Obligasi daerah, kata Sultan, menghadirkan peluang tersebut.
Sri Sultan menyebut bahwa Indonesia kini memiliki landasan regulasi yang memadai untuk penerbitan obligasi daerah.
Selain UU No. 1/2022 tentang hubungan keuangan pusat dan daerah yang disebutnya sebagai “penanda era baru”, pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 1/2024 tentang harmonisasi kebijakan fiskal nasional dan PMK No. 87/2024 yang memberikan pedoman teknis penerbitan obligasi dan sukuk daerah.
“Kerangka hukum ini sudah lengkap. Ia bukan saja menyempurnakan struktur pendanaan daerah, tetapi memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk bergerak lebih berani dan profesional,” ucapnya.
Regulasi-regulasi tersebut mengatur syarat fiskal, tata kelola, kelengkapan dokumen, keterlibatan lembaga pemeringkat, mekanisme pasar modal, hingga pelaporan berkala yang diperlukan untuk menjaga kredibilitas instrumen.
Baca juga: Sri Sultan HB X Pastikan UMP DIY 2026 Naik, Penetapan Tunggu Formula Baru dari Pusat
Patut Dipertimbangkan
Sri Sultan juga menjabarkan empat alasan mengapa obligasi menjadi pilihan pembiayaan yang patut dipertimbangkan.
Pertama, obligasi menawarkan kesesuaian tenor untuk proyek-proyek infrastruktur jangka panjang yang tidak dapat ditopang oleh pembiayaan perbankan konvensional.
Kedua, penerbitan obligasi mendorong disiplin fiskal dan transparansi karena melibatkan pihak independen seperti auditor, lembaga pemeringkat, serta menuntut keterbukaan informasi.
Ketiga, obligasi menjadi instrumen partisipasi publik yang memungkinkan masyarakat lokal, investor domestik, dan institusi berkontribusi langsung pada pembangunan daerah.
Keempat, obligasi memperkuat kapasitas fiskal jangka panjang, terutama untuk proyek-proyek yang menghasilkan pendapatan seperti layanan air minum, sistem persampahan modern, fasilitas kesehatan, pariwisata, dan energi hijau.
“Obligasi bukan hanya soal dana. Ia adalah mekanisme untuk memperbaiki tata kelola, memperluas partisipasi, dan memperkuat fondasi ekonomi daerah,” tegasnya.
Meski demikian, sri Sultan HB X tidak menutup mata terhadap berbagai kendala yang membuat obligasi daerah belum pernah diterbitkan oleh pemerintah daerah mana pun sampai saat ini.
Ia menyebut keterlibatan banyak pihak—lembaga pemeringkat, underwriter, notaris, konsultan hukum, auditor publik, penasihat keuangan, dan Bursa Efek Indonesia—membutuhkan waktu, kapasitas, dan biaya yang material.
Selain itu, daya serap pasar, besaran imbal hasil, serta credit rating menjadi penentu utama keberhasilan.
“Kesuksesan obligasi sangat bergantung pada kualitas perencanaan. Kita tidak boleh sekadar berani menerbitkan tanpa memastikan proyek bankable dan tata kelola terjaga,” ujarnya.
Alternatif pembiayaan lain seperti pinjaman daerah dan skema KPBU yang prosesnya lebih cepat juga sering menjadi pilihan, sehingga daerah cenderung menghindari penerbitan obligasi.
Walau tantangannya besar, Sultan menilai inilah momentum tepat. Pemerintah pusat telah menyediakan asistensi teknis dan pendampingan, sementara industri keuangan nasional menunjukkan kesiapan mendukung daerah.
“Jika regulasi sudah lengkap, kapasitas bisa diperkuat, dan pasar siap menerima, maka yang diperlukan tinggal keberanian politik dan kesiapan manajerial di tingkat daerah,” kata Sultan.
Sementara itu, akademisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof. Dr. Imamudin Yuliadi, yang menekankan pentingnya tata kelola dan transparansi.
Adapun Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon, Inarno Djajadi, memaparkan kesiapan regulasi dan perkembangan pasar modal yang dinilai mampu menopang penerbitan obligasi daerah.
Mengakhiri paparannya, Sri Sultan menyampaikan bahwa obligasi daerah adalah penanda kedewasaan fiskal suatu daerah.
“Ini bukan hanya instrumen keuangan, tetapi bukti bahwa daerah mampu mengelola pembiayaan modern dengan profesional, transparan, dan berorientasi masa depan,” katanya.
Sultan turut mengajak seluruh kepala daerah menjadikan regulasi terbaru—UU 1/2022, PP 1/2024, dan PMK 87/2024—sebagai landasan untuk menciptakan pembangunan daerah yang progresif dan berdaya saing.
Baca juga: Warga di Sekitar Jembatan Kewek Yogyakarta Dukung Rencana Rehabilitasi
Penerbitan Obligasi
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Melchias Markus Mekeng, mendorong pemerintah daerah mulai menyiapkan penerbitan obligasi daerah sebagai sumber pembiayaan pembangunan.
Ia menilai skema ini dapat menjadi jalan bagi daerah untuk lebih mandiri setelah dua dekade bergantung pada pemerintah pusat.“
Ini sudah saatnya pemerintah daerah untuk bisa mandiri membangun daerahnya sendiri. Salah satu instrumen untuk membangun daerahnya ini adalah obligasi daerah,” ujar Mekeng.
Ia menambahkan, hingga kini 18 negara telah menerbitkan obligasi daerah dan umumnya berhasil memperkuat pembangunan.
“Tingkat default-nya sangat rendah di bawah 0,1 persen. Jadi memang pasti semua orang akan berlomba menerbitkan obligasi daerah dan pastinya harus melalui proses yang sangat ketat, karena dari obligasi daerah harus melewati proses di daerahnya itu sendiri, DPRD, Kemdagri, Departemen Keuangan, dan terakhir adalah OJK,” kata dia.
Mekeng menargetkan aturan terkait obligasi daerah dapat dirampungkan pada 2026.
“Saya berharap tahun 2026 kita bisa selesaikan ini undang-undang dan tentunya kita berharap restu dari pimpinan negara kita, Presiden Prabowo, terhadap obligasi daerah sebagai salah satu instrumen daerah dan investasi terhadap publik. Kalau 2026 ini bisa kita selesaikan dan 2027 bisa disesuaikan, saya rasa banyak daerah bisa menerbitkan,” ujarnya.
Menurut dia, kemandirian fiskal daerah mendesak diwujudkan setelah 25 tahun reformasi belum banyak mengubah pola ketergantungan pada pusat.
“Selama 25 tahun ini ketergantungan ini masih sangat besar. Makanya dengan terjadinya perubahan undang-undang dukungan keuangan pusat-daerah yang tadinya DAU itu berada 26 persen, dengan UU yang baru itu 26 persen sudah hilang dan bahkan 2026 sudah dihitung. Kurang lebih 300 triliun makanya banyak daerah-daerah yang merasa dananya kurang. Ini momen yang tepat buat daerah menerbitkan obligasi daerah setelah ada undang-undangnya,” kata Mekeng.
Ia menilai Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi kuat untuk menjadi contoh.
“Kalau saya lihat datanya, Jogja ini tingkat keserapannya sangat satisfying. Itu salah satu indikator bahwa kredibel terhadap obligasi daerah dan menjadi indikator untuk melakukan rating. Jadi menurut saya Jogja bisa menjadi salah satu yang bisa dijadikan contoh untuk mempercepat proses pembangunannya,” ucapnya.
Manfaat obligasi daerah, menurut Mekeng, juga akan diperdalam melalui rangkaian sarasehan dengan pemangku kepentingan.
“Sarasehan kita akan lakukan di seluruh penjuru Indonesia. Kita meminta pendapat stakeholder dari pemerintah daerah, dari Kadin, dari HIPMI, semuanya, itu kita jadikan dasar untuk membuat naskah akademis. Data yang dikasih OJK, apa data yang ada lebih kecil, 0,1 persen. Menerbitkan obligasi daerah, lembaga-lembaga yang akan terlibat akan memiliki nilai sendiri. Kita harus memitigasi risiko gagal bayar walaupun sekecil itu yang terjadi di dunia,” ujar Mekeng. (*)
| Sri Sultan HB X Pastikan UMP DIY 2026 Naik, Penetapan Tunggu Formula Baru dari Pusat |
|
|---|
| Fakultas Peternakan UGM Bahas Optimalisasi Anggaran Rp20 Triliun, Dukung Modernisasi Sektor Unggas |
|
|---|
| Kapolri Hadiri Apel Srawung Agung, Berkolaborasi dan Bersinergi dengan Jaga Warga |
|
|---|
| Gerindra Kota Yogya Soroti Keakraban Prabowo dan Sri Sultan HB X Saat Resmikan Jembatan Kabanaran |
|
|---|
| Fraksi Golkar MPR RI Sowan ke Sri Sultan HB X Jelang Sarasehan Obligasi Daerah |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/Sarasehan-Nasional-Obligasi-Daerah.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.