Perjalanan Riky ‘Bumi Gede’ Dalang Muda Yogyakarta Menjaga Tradisi Wayang

Ia memimpin upaya untuk menjadikan wayang sebagai sesuatu yang relevan dengan perkembangan zaman.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
Arsip Pribadi Riky
Riky 'Bumi Gede' (32) seorang dalang muda dalam Acara Pentas Seni Budaya Kelurahan Giwangan. 
Ringkasan Berita:
  • Riky (32), dalang muda dengan nama panggung Bumi Gede mengawali karir bukan dari latar belakang keluarga seniman.
  • Seni musik menjadi jembatan Riky untuk masuk dan mengeksplorasi lebih dalam dunia pedalangan.
  • Rekonstruksi tradisi lewat pewayangan kontemporer tanpa mengubah akar dan esensi wayang.
 

TRIBUNJOGJA.COM -- Di balik bayangan panggung wayang, Riky (32) atau yang juga dikenal dengan nama panggung ‘Bumi Gede’ bukan sekadar pewaris tradisi, melainkan sosok yang mendefinisikan ulang makna seorang dalang di era modern. 

Perjalanannya, yang dimulai dari jalur yang tak terduga, membentuk prinsip-prinsip inklusif dan inovatif yang ia yakini dapat menghidupkan kembali seni pedalangan.

Awal kecintaan Riky terhadap wayang tidak tumbuh dari warisan keluarga atau tradisi yang kental, melainkan dari seni populer, khususnya musik.

Ia adalah seorang yang awalnya menyukai seni kontemporer seperti menggambar, melukis, dan bermusik, sebelum akhirnya mengenal wayang lewat sebuah pertunjukan di televisi.

Pria ini lantas memfokuskan studinya pada Jurusan Pedalangan “Sekolah di SMKN 1 Kasihan, Bantul jurusan Seni Pedalangan, kemudian S1 ISI Yogyakarta (jurusan) Pedalangan juga, dan S2 ISI Solo, Penciptaan Seni Teater,” ungkapnya, Kamis, (20/11/2025).

Riky bercerita, pada awal masa belajarnya, ia sempat merasa asing dengan wayang klasik yang ia pelajari di sekolah.

Wayang yang ia kenal lewat pertunjukan di televisi cenderung sudah dipoles menggunakan Bahasa Jawa yang lebih ringan disertai iringan musik dan pencahayaan yang sudah ditata sedemikian rupa agar ‘berbeda’ dengan pewayangan klasik di zaman itu.

Namun, lingkungan dan pertemanan di masa studinya sangat peduli dan inklusif, mau merangkul bahkan mengajarinya dari nol hingga ia merasa nyaman. 

Sikap gotong royong ini, di mana teman-temannya yang sudah mahir tidak segan berbagi ilmu, membuatnya yakin bahwa seni tradisi harus bersifat merangkul semua orang, terlepas dari latar belakangnya.

Riky menyadari bahwa fondasi yang kuat adalah prasyarat untuk inovasi. Ia memilih mempelajari musik gamelan terlebih dahulu sebelum serius mendalami teknik pedalangan. 

Sebab ia sendiri sebelumnya lebih dahulu mengenal dunia musik yang mengantarkannya pada kepekaan nada, sehingga tidak sulit bagi Riky untuk masuk ke dunia musik gamelan.

Filosofi ini terbukti saat ia dipilih para guru untuk mewakili sekolahnya pada suatu lomba pedalangan.

Ia sempat tidak percaya sebab merasa dirinya belum begitu fasih dengan wayang klasik, berbeda dengan kawan-kawannya yang lain.

Tapi ternyata ia dipilih sebab kepekaannya pada nada dan musik gamelan.

“Ternyata jadi dalang itu harus menguasai segala aspek pertunjukannya, bukan hanya visual wayang, tetapi musiknya, ritmenya, saat itu keunggulanku disitu,” ucapnya, Kamis, (20/11/2025).

Dalam perlombaan tersebut, ia berhasil menyabet juara pertama. Titik balik ini membuatnya yakin bahwa pedalangan adalah jalannya.

Rekonstruksi Tradisi Lewat Komunitas

Bagi Riky, pedalangan adalah seni yang harus merangkul semua orang, terlepas dari apakah mereka berasal dari trah (garis keturunan) dalang atau tidak. Riky sendiri melihat bahwa banyak orang non-trah seperti dirinya justru termotivasi untuk menjaga tradisi.

Riky 'Bumi Gede' (32) seorang dalang muda dalam Acara Pentas Seni Budaya Kelurahan Giwangan.
Riky 'Bumi Gede' (32) seorang dalang muda dalam Acara Pentas Seni Budaya Kelurahan Giwangan. (Arsip Pribadi Riky)

Setelah lulus dari studi S2, Riky menyalurkan idealismenya melalui karya dan komunitas, ia memimpin upaya untuk menjadikan wayang sebagai sesuatu yang relevan dengan perkembangan zaman namun tidak menghilangkan akar.

Ia melanjutkan kepemimpinan di Paguyuban Dalang Sukrakasih, sebuah komunitas dalang muda yang fokus menyajikan pertunjukan tradisi dalam kemasan yang lebih fresh dan menarik. 

Komunitas ini menjunjung tinggi semangat anak muda, menawarkan pertunjukan dengan pendekatan musikal kontemporer, penataan cahaya yang modern, serta jalan cerita yang lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Melalui perjuangan komunitasnya, Riky membuktikan bahwa ia bisa mendapatkan pengakuan dari pemerintah dan pusat budaya. Ia dan komunitasnya diundang oleh Kraton Yogyakarta, di mana Sri Sultan Hamengkubuwono X secara langsung memberi restu kepada mereka.

"'Biarlah wayang klasik ada di dalam benteng Kraton, tetapi anak-anak muda dipersilakan berkreasi sebebas-bebasnya di luar untuk menjaga agar wayang tetap hidup,' kata-kata Sri Sultan saat itu seperti memberi jalan,” tutur Riky, Kamis, (20/11/2025).

Saat ini, sebagai ketua Paguyuban Sukra Kasih, Riky terus bergerak, membawa wayang ke ranah yang lebih modern, sambil tetap memastikan bahwa esensi budaya Jawa tetap tersampaikan.

Upaya Riky menjadi simbol nyata dari kegigihan personal, adaptabilitas, dan pemikiran ke depan seorang seniman muda yang masih memeluk erat tradisi dalam gempuran modernitas. (MG|Axel Sabina Rachel Rambing).

Baca juga: Kisah Dalang Perempuan di Yogyakarta, Semangat Lestarikan Budaya Wayang dari Gempuran Zaman

 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved