Reaksi Maxride setelah Terbitnya SE Larangan Bajaj Berbasis Aplikasi di Yogyakarta
Maxride mengklaim mendapat respons positif dari netizen dan banyak yang kontra atas terbitnya SE larangan bajaj berbasis aplikasi
Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
Ringkasan Berita:
- Maxride menuntut penerapan regulasi yang adil dan tidak diskriminatif soal aturan larangan bajaj berbasis aplikasi di Yogyakarta.
- Reaksi Maxride tersebut muncul setelah keluarnya SE Wali Kota Yogyakarta soal larangan bajaj berbasis aplikasi di Jogja.
TRIBUNJOGJA.COM - Polemik larangan bajaj berbasis aplikasi di Yogyakarta kembali mencuat setelah keluarnya SE Wali Kota. Terbitnya SE Wali Kota tersebut mendorong PT Max Auto Indonesia menuntut penerapan regulasi yang adil dan tidak diskriminatif terhadap moda transportasi roda tiga.
Terbitnya SE tersebut disebut menimbulkan kebingungan di lapangan, terutama karena selama ini bajaj Maxride telah beroperasi sebagai layanan transportasi berbasis aplikasi yang memanfaatkan kendaraan roda tiga milik pribadi.
Perusahaan menegaskan komitmennya untuk mematuhi seluruh aturan pemerintah daerah sepanjang diterapkan secara setara.
Regional Manager Central Java PT Max Auto Indonesia, Bayu Subolah, mengatakan pihaknya justru menerima banyak dukungan masyarakat sejak wacana pembatasan muncul.
Menurut dia, respons publik menunjukkan bahwa keberadaan bajaj daring telah diterima sebagai moda mobilitas harian.
“Kami mendapat respons positif dari netizen yang mendukung keberadaan kami. Banyak yang kontra atas terbitnya SE tersebut,” ujar Bayu, Rabu (19/11/2025).
“Maxride hadir sebagai alternatif transportasi yang terjangkau sekaligus nyaman. Konsumen merasa aman ketika menggunakan bajaj untuk mobilitas harian. Selain itu, Maxride membuka ruang investasi bagi masyarakat. Balik modal maksimal dua tahun. Pengguna bajaj bisa menembus kemacetan dan pengemudinya mendapatkan lapangan kerja.”
Klaim dokumen lengkap
Bayu menegaskan seluruh unit yang beroperasi merupakan kendaraan legal dengan dokumen lengkap. Ia menjelaskan bahwa bajaj Maxride adalah kendaraan pribadi milik pengemudi atau pemilik unit (juragan) yang beroperasi menggunakan izin dan payung hukum yang sama seperti transportasi daring lain.
“Kendaraan kami plat hitam dengan surat-surat lengkap karena milik pribadi. Kami punya PSE, taat pajak, dan berpegang pada PM 12 tentang keselamatan ojek online. Kami bukan transportasi umum, melainkan kendaraan pribadi milik juragan atau driver,” katanya.
Government Relations PT Max Auto Indonesia, Budi Dirgantoro, menilai kesan bahwa bajaj daring ilegal kerap muncul karena bentuk fisiknya yang dianggap mirip angkutan umum.
Padahal, perusahaan menegaskan operasionalnya telah diatur oleh regulasi nasional yang berlaku bagi semua kendaraan daring plat hitam.
“Ini hanya asumsi karena bentuknya,” ujar Budi.
“Sejak 2017, Permenhub 108, 118, 117, hingga 12 sudah mengatur bahwa kendaraan plat hitam boleh mengangkut penumpang. Kami menggunakan izin dan fasilitas yang sama seperti transportasi online lainnya.”
Budi menambahkan, Maxride siap mengikuti aturan apa pun yang ditetapkan pemerintah daerah, sepanjang kebijakan tersebut tidak hanya menyasar bajaj tetapi seluruh layanan transportasi daring.
| Respons Keraton Yogyakarta soal Maraknya Dugaan Penipuan oleh Oknum yang Mengaku Pemandu Wisata |
|
|---|
| Berusia Lebih dari 100 Tahun, Konstruksi Jembatan Kleringan Jogja Disebut Sudah 'Kritis' |
|
|---|
| Viral Modus Pemandu Liar Tipu Wisatawan di Kraton Yogyakarta |
|
|---|
| Mengapa Jembatan Pandansimo Berubah Nama Jadi Jembatan Kabanaran? Ini Sejarahnya |
|
|---|
| Dua Pemain PSIM Dipanggil Timnas U-23, Van Gastel Siapkan Pengganti untuk Hadapi Bhayangkara FC |
|
|---|
