Fenomena Bunuh Diri Anak, Alarm Darurat bagi Kesehatan Mental Generasi Alpha

Meningkatnya kasus bunuh diri anak sebagai tanda bahaya yang tak bisa diabaikan. Ia menyebut fenomena tersebut sebagai alarm darurat

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
pixabay
Ilustrasi anak yang sedih 

Ringkasan Berita:
  • Manajer Center for Public Mental Health (CPMH) Universitas Gadjah Mada, Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi menyoroti deretan kasus bunuh diri anak di berbagai daerah belakangan. 
  • Ia menyebut fenomena tersebut sebagai “alarm darurat” yang menuntut langkah cepat dan kolaboratif untuk melindungi kesehatan mental generasi muda.
  • Banyak kasus tersebut penanda bahwa di balik dunia digital yang kian canggih, generasi Alpha tengah berjuang melawan sunyi dan tekanan yang tak kasat mata: krisis kesehatan mental.

 

TRIBUNJOGJA.COM - Deretan kasus bunuh diri anak di berbagai daerah belakangan ini mengguncang nurani publik. Dalam sebulan terakhir, empat peristiwa tragis di Sumatera Barat dan Jawa Barat menjadi penanda bahwa di balik dunia digital yang kian canggih, generasi Alpha tengah berjuang melawan sunyi dan tekanan yang tak kasat mata: krisis kesehatan mental.

Manajer Center for Public Mental Health (CPMH) Universitas Gadjah Mada, Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog, menilai meningkatnya kasus bunuh diri anak sebagai tanda bahaya yang tak bisa diabaikan. Ia menyebut fenomena tersebut sebagai “alarm darurat” yang menuntut langkah cepat dan kolaboratif untuk melindungi kesehatan mental generasi muda.

“Ini sudah semacam wake-up call yang harus membuat semua pihak waspada. Sudah saatnya setiap elemen bangsa melihat kesehatan mental anak sebagai hal yang penting untuk diperhatikan. Anak tidak hanya perlu sejahtera secara prestasi, tetapi juga secara mental,” ujarnya, Rabu (12/11).

Menurut Nurul, generasi Alpha memiliki karakteristik yang unik sekaligus kompleks. Mereka lahir dan tumbuh di tengah kemajuan teknologi, terpapar arus informasi tanpa henti, dan berinteraksi intens melalui dunia maya. Kondisi ini menjadikan mereka generasi yang adaptif secara digital, tetapi juga rentan terhadap tekanan psikologis.

“Mereka berisiko lebih dini mengalami kelelahan emosional, sementara kemampuan pengelolaan pikirannya belum matang. Kombinasi ini berpotensi membuat anak terjebak dalam tekanan mental yang berat hingga berujung pada tindakan ekstrem,” jelasnya.

Rendahnya Literasi Mental dan Dialog yang Terputus

Fenomena ini diperparah dengan rendahnya literasi kesehatan mental di masyarakat. Masih banyak orang tua dan guru yang belum memahami tanda-tanda awal gangguan psikologis pada anak. Akibatnya, deteksi dini sering kali tidak terjadi dan masalah psikologis berkembang hingga mencapai titik krisis.

“Deteksi dini sering kali tidak terjadi karena kurangnya pengetahuan. Akibatnya, masalah psikologis dibiarkan berkembang hingga mencapai titik krisis,” paparnya.

Selain itu, komunikasi yang berjarak antara orang tua dan anak juga menjadi tantangan tersendiri. Di banyak keluarga, percakapan hangat dan empatik mulai tergantikan oleh kesibukan serta interaksi digital. “Kurangnya dialog yang empatik antara orang tua dan anak membuat proses pertolongan pertama psikologis tidak berjalan dengan baik,” kata Nurul.

Tantangan lain yang turut memperburuk kondisi mental anak adalah rendahnya kemampuan mengatur emosi. Minimnya literasi emosi di lingkungan keluarga membuat anak-anak kehilangan kesempatan belajar langsung dari orang tua tentang cara mengekspresikan dan mengelola perasaan dengan sehat.

“Paparan dunia digital yang tidak terkontrol semakin memperparah kondisi ini karena anak-anak sering kali tidak memiliki filter dalam menyerap informasi atau membandingkan diri dengan orang lain di media sosial,” tambahnya.

Dalam banyak kasus, peran pengasuhan kini lebih banyak diambil alih oleh media digital. Anak-anak tumbuh dalam interaksi visual, bukan emosional. Akibatnya, mereka kerap merasa kesepian di tengah keramaian dunia maya.

Untuk menekan risiko depresi dan tindakan ekstrem, Nurul menekankan pentingnya langkah konkret dari dua lingkungan utama tempat anak bertumbuh: keluarga dan sekolah.

Di tingkat keluarga, orang tua diharapkan menerapkan aturan screen time yang bijak untuk seluruh anggota keluarga, bukan hanya anak-anak. Selain itu, mereka perlu berperan aktif sebagai pelatih emosi yang memberi teladan dalam mengekspresikan perasaan dengan positif dan terbuka.

“Keluarga perlu membangun komunikasi yang suportif dan meningkatkan literasi kesehatan mental agar bisa mendeteksi tanda-tanda awal perubahan perilaku anak,” ujarnya.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved