Belajar Memahami Manusia Sambil Merawat Sejarah Bangsa Lewat Museum

Museum bukan sekadar tempat menyimpan barang peninggalan bersejarah, melainkan tempat manusia kembali belajar memaknai sejarah.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
MG Shafira Puti Krisnintya
STAF MUSEUM DEWANTARA: Potret Agus Purwanto, staf pemandu museum, di depan Museum Dewantara Kirti Griya, Jalan Tamansiswa no. 25, Yogyakarta, pada Selasa (04/11/2025). 
Ringkasan Berita:
  • Agus (56) telah lebih dari 20 tahun menjadi staf pemandu museum di Museum Dewantara Kirti Griya (MDKG) Yogyakarta.
  • Bertemu pengunjung dari berbagai kalangan menjadi tantangan sekaligus sumber kebahagiaannya.
  • Bagi Agus, menjaga museum berarti menjaga agar ingatan kolektif bangsa tidak lekas pudar.
 

 

TRIBUNJOGJA.COM - Museum bukan sekadar tempat menyimpan barang peninggalan bersejarah, melainkan tempat manusia kembali belajar memaknai sejarah.

Keyakinan itu tumbuh perlahan selama dua puluh tahun lebih Agus (56) bekerja sebagai staf pemandu museum di Museum Dewantara Kirti Griya (MDKG) Yogyakarta. 

Saat pertama kali ditempatkan di museum, Agus mengaku pengetahuannya akan museum dan sejarah masih sangat amatir.

Latar belakang pendidikannya yang sama sekali tidak berkaitan dengan sejarah sempat membuatnya hilang arah.

Kendati demikian ia terus mencoba beradaptasi dan berusaha memahami seluk beluk tugas staf museum.

Koleksi Museum Dewantara
Arsip foto dan koleksi museum dari ruang tengah Rumah Ki Hadjar Dewantara di Museum Dewantara Kirti Griya, Selasa (4/11/2025). (MG Shafira Puti Krisnintya)

Atas saran dari staf seniornya, ia mulai menyelami dunia museum dengan membaca buku-buku tentang museum dan sejarah Tamansiswa yang ada dalam koleksi Perpustakaan MDKG.

Setelah kurang lebih dua sampai tiga tahun, Agus mulai menemukan ritmenya. 

Banyaknya interaksi yang dilakukan dengan pengunjung yang beraneka ragam membuatnya semakin luwes dan lebih menikmati pekerjaannya.

“Awal-awalnya ya bingung tapi ya lama-lama saya kalau ada pengunjung itu dari dia datang sudah, 'oh model orangnya seperti ini, ya saya layani seperti ini,' begitu,” ujar Agus, saat ditemui pada Selasa (4/11/2025), di Perpustakaan MDKG, Jalan Tamansiswa no. 25 Yogyakarta.

Bekerja menjadi pemandu museum nyatanya tidak hanya butuh pengetahuan akan sejarah yang tertoreh di dalamnya, namun juga jam terbang tinggi dalam memahami dan menguasai seisi museum.

Baca juga: Generasi Z Didorong Hidupkan Museum sebagai Tempat Bermain, Belajar, dan Menemukan Makna

Agus menegaskan, pemandu museum juga harus siap memahami pengunjung dari segi manapun.

Seperti apa gestur dan gaya bicara yang digunakan ketika memandu selalu disesuaikan dengan karakter tiap-tiap pengunjung yang datang.

Agus saat sedang memandu pengunjung program
Agus saat sedang memandu pengunjung program "Wajib Kunjung Museum" dari Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta pada Selasa (21/10/2025), di Museum Dewantara Kirti Griya. (Instagram/museumdewantara)

Rentang usia dan profesi pengunjung museum yang beragam mulai dari anak-anak sekolah, mahasiswa, peneliti hingga karyawan kantor menjadi faktor utama yang membuat Agus betah bertahan sebagai staf pemandu museum. 

“Ya museum ini ternyata ruang publik yang menarik sekali, karena kita menghadapi berbagai macam orang. Bagi saya itu jadi tantangan yang menyenangkan,” ucapnya sambil tersenyum.

Mereka yang Melestarikan Museum

Belum lama ini, Museum Dewantara Kirti Griya menjadi satu dari sepuluh museum di Indonesia yang memperoleh Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2025 Kategori Museum dari Kementerian Kebudayaan.

Tentu diperolehnya penghargaan itu tidak luput dari kerja keras mereka yang aktif menjaga dan melestarikan museum.

Selama dua puluh tahun lebih bekerja di museum, Agus merasa sangat bahagia karena bisa berinteraksi dengan berbagai macam orang dengan karakter yang berbeda-beda.

Menurutnya, pengalaman langka itu tidak akan bisa ia alami jika saja ia tidak bekerja di museum.

Ketika ditanya koleksi museum favoritnya, Agus menyebutkan bahwa mesin ketik dan pakaian Ki Hadjar Dewantara adalah muara dari semua perjalanan dan perjuangan hidup Ki Hadjar Dewantara.

“Mesin ketik itu ya bukti alat perjuangan beliau. Kalau yang lain bawanya senjata, kalau Ki Hadjar itu ya alat perjuangannya mesin ketik itu,” katanya.

Mesin Ketik Ki Hadjar Dewantara
Wujud mesin ketik Ki Hadjar Dewantara yang sekarang menjadi koleksi Museum Dewantara Kirti Griya, Selasa (4/11/2025)

Dengan penuh semangat, ia bercerita bagaimana mesin ketik itu sendiri sudah sangat mewakili sosok Ki Hadjar Dewantara.

Mesin ketik itulah yang menjadi saksi mata semenjak Ki Hadjar Dewantara masih aktif menjadi wartawan dan banyak menulis artikel perlawanan terhadap Belanda, hingga pada akhirnya Ki Hadjar Dewantara beralih ke pendidikan dan mendirikan sekolah Tamansiswa.

Agus lantas mengibaratkan museum sebagai etalase depan bagi edukasi sejarah bangsa Indonesia.

Ia menggambarkan MDKG sebagai garda terdepan Tamansiswa, serta tempat cerita perjuangan dan sejarah pemikiran Ki Hadjar Dewantara dilestarikan.

Baca juga: Merawat Warisan Piano Ki Hadjar Dewantara di Yogyakarta

Setiap kali museum kedatangan pengunjung pelajar dan mahasiswa, Agus selalu tidak lupa untuk membawa mereka ke titik nol dan memperkenalkan kembali sosok Ki Hadjar Dewantara.

“Saya sering berangkat dari nol begitu, ‘coba siapa Ki Hadjar itu?’. Ternyata banyak pelajar yang nggak tahu. Jadi memang tugas kami itu mengingatkan masyarakat bahwa ada tokoh pendidikan nasional namanya Ki Hadjar Dewantara,” jelasnya.

Setiap benda di museum memiliki kisahnya sendiri, dan setiap kisah adalah serpihan dari ingatan bangsa.

Dua puluh tahun bekerja sebagai staf museum membuat Agus percaya, menjaga museum berarti menjaga agar ingatan kolektif bangsa tidak lekas pudar.

(MG Shafira Puti Krisnintya)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved