Generasi Z Didorong Hidupkan Museum sebagai Tempat Bermain, Belajar, dan Menemukan Makna

Bagi generasi muda seperti dirinya, bermain bukan berarti main-main, melainkan cara baru untuk mencintai kebudayaan.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
SHARING: Marsha Widodo, siswi Jakarta Intercultural School (JIS), berbagi pandangannya tentang pentingnya menjadikan museum sebagai ruang yang hidup dan interaktif bagi generasi muda dalam diskusi “Museum untuk Generasi Z: Dari Ruang Pamer ke Ruang Main” di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, Senin (13/10/2025). 

TRIBUNJOGJA.COM - Bagi Marsha Widodo, museum bukan sekadar ruang penuh benda di balik kaca. Di mata siswi Jakarta Intercultural School (JIS) itu, museum seharusnya menjadi ruang yang hidup—tempat bermain, bertanya, dan menemukan makna.

Sebab, bagi generasi muda seperti dirinya, bermain bukan berarti main-main, melainkan cara baru untuk mencintai kebudayaan.

Pandangan itu ia sampaikan dalam diskusi bertajuk “Museum untuk Generasi Z: Dari Ruang Pamer ke Ruang Main” di Museum Sonobudoyo Yogyakarta, Senin (13/10/2025).

Di hadapan peserta yang sebagian besar pelajar, Marsha berbicara tentang bagaimana generasinya memandang museum di tengah kehidupan digital yang serba cepat dan visual.

“Saya merasa generasi kita memiliki mindset yang lebih interaktif, lebih terbuka, dan lebih menarik,” ujar Marsha. 

“Jadi, dalam presentasi ini, saya ingin berbicara tentang bagaimana, setelah kita memiliki interaksi dan kesadaran itu, apa peran kita sebagai Generasi Z untuk terus memulai dan menumbuhkan kegembiraan itu—kegembiraan untuk terlibat, untuk berinteraksi, dan untuk belajar—dalam diri kita sendiri.”

Marsha mengaku, bagi banyak anak muda, museum sering kali terasa seperti ruang yang berjarak. Tenang, teratur, namun dingin dan sulit diakrabi.

“Mari kita mulai dari satu pertanyaan sederhana: apa yang membuat kita pergi ke museum di awal?” katanya. 

“Bukankah museum sering terasa agak mengintimidasi? Kita masuk ke ruang yang tenang, penuh benda di balik kaca, dan merasa tidak terhubung. Ada dinding tak kasatmata antara kita dan benda-benda itu. Akibatnya, museum jadi terasa ‘biasa saja’. Kita datang sekali, lalu selesai.”

Kondisi ini, menurutnya, berbeda jauh dengan kebiasaan generasi muda di negara lain. Di Amerika Serikat, sekitar 50–70 persen anak muda rutin mengunjungi lembaga budaya seperti museum setiap tahun. Di Australia, bahkan remaja berusia 15 hingga 17 tahun terbiasa datang ke museum karena keinginan sendiri, bukan karena tugas sekolah atau dorongan orang tua.

“Di Indonesia, kondisinya masih jauh berbeda,” ujarnya. 

“Berdasarkan data, meski 78,6 persen dari kita punya akses terhadap media dan informasi budaya, hanya sekitar 53 persen yang datang ke museum—itu pun rata-rata hanya sekali dalam setahun. Dan sering kali, kunjungan itu bukan karena keinginan sendiri, melainkan karena kegiatan sekolah atau acara keluarga. Saya pun dulu begitu. Kalau ibu saya tidak mengajak, mungkin saya juga tidak akan datang ke museum.”

Bagi Marsha, fakta itu memperlihatkan bahwa museum di Indonesia masih belum menjadi bagian dari rutinitas budaya masyarakat. “Kita cenderung menonton dari jauh, bukan mengalami langsung,” katanya.

Ia kemudian mengusulkan konsep Ruang Main—sebuah cara baru memandang museum bukan sebagai ruang pamer, tetapi ruang pengalaman.

“Kalau kita masuk ke ruang pamer di museum, kita biasanya hanya melihat benda-benda yang dipajang, membaca label, lalu keluar,” ucapnya. 

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved