Menapaki Jejak Gempa Bantul 2006 Bersama Geotrek Jogja di Sesar Opak

Rombongan melintasi permukiman, jembatan, dan pematang sawah menuju destinasi akhir yaitu objek wisata Lava Bantal Berbah.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Ikrob Didik Irawan
Ist
MEMORI GEMPA : Wisata Geotrek Jogja dalam upaya mengenang kembali memori gempa 2006 yang berpusat di Sesar Opak, Piyungan, Bantul, Minggu 26 Oktober 2025. 

Melalui wisata trekking geologi bertema Sesar Opak ini, lanjut Yanti, masyarakat diajak untuk kembali mengingat keberadaan sesar yang tak tampak di permukaan. Bahwasanya, sesar bisa kembali aktif kapan saja tanpa dapat diprediksi.

Baca juga: Laka Maut Motor vs Mobil di Jalan Nasional Wates-Purworejo Wilayah Kulon Progo

Salah seorang peserta, Wiwit Mulyani, staf di ISI Yogyakarta, mengaku tergugah dengan pengalaman bersama Geotrek Jogja.

“Momen itu membuat saya lebih memahami bagaimana proses alam bekerja dalam waktu yang sangat panjang, sekaligus menumbuhkan rasa kagum akan kekuatan alam dan pentingnya geologi,” ujar Wiwit.

Sejarah Geotrek Jogja

Alfian Widiantono, 40 tahun, atau akrab disapa Aan, suami Yanti sekaligus pendiri Geotrek Jogja, menuturkan perjalanan mereka dalam memperkenalkan geologi kepada masyarakat luas.

Komunitas ini lahir pada April 2025, berawal dari kecintaan pasangan tersebut terhadap geologi dan seni bercerita. Yanti yang merupakan lulusan geologi ITB menikah dengan Aan, lulusan teknik fisika UGM yang memiliki minat pada jurnalisme fotografi, pada tahun 2014.

Setelah pulang kampung ke Yogyakarta pada 2018, keduanya melihat potensi wisata geologi seperti yang dijalankan komunitas Geotrek Mata Bumi di Bandung.

Menurut Aan, Geotrek Jogja hadir untuk menjawab keresahan terhadap terbatasnya komunikasi sains di masyarakat.

“Ada keresahan melihat data penelitian dan informasi akademis hanya berhenti di jurnal, laporan, atau perpustakaan, tidak sampai ke masyarakat,” tutur Aan.

Ia menilai geologi sangat penting untuk dipahami secara sederhana. Geologi, katanya, sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, mulai dari arah mata angin, fondasi rumah, hingga batu ulekan di dapur.

“Semakin kita mengenal kondisi lingkungan tempat kita tinggal, semakin kita sadar dan mampu beradaptasi. Tujuannya bukan untuk menakut-nakuti, melainkan agar kita sadar bahwa kita hidup di tengah kondisi bumi yang dinamis,” pungkas Aan.  (MG Sofia Natalia Zebua) 

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved