Menapaki Jejak Gempa Bantul 2006 Bersama Geotrek Jogja di Sesar Opak

Rombongan melintasi permukiman, jembatan, dan pematang sawah menuju destinasi akhir yaitu objek wisata Lava Bantal Berbah.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Ikrob Didik Irawan
Ist
MEMORI GEMPA : Wisata Geotrek Jogja dalam upaya mengenang kembali memori gempa 2006 yang berpusat di Sesar Opak, Piyungan, Bantul, Minggu 26 Oktober 2025. 
Ringkasan Berita:
  • Geotrek Jogja menggelar trekking geologi di kawasan Sesar Opak, Bantul, untuk mengenang gempa 2006 dan meningkatkan kesadaran mitigasi bencana.
  • Peserta diajak memahami dinamika bumi dan pentingnya mengenali kondisi geologi tempat tinggal sebagai bentuk kesiapsiagaan bencana.
  • Geotrek Jogja didirikan pada April 2025 oleh pasangan Yanti dan Aan untuk memperkenalkan geologi kepada masyarakat melalui wisata dan storytelling.

 

TRIBUNJOGJA.COM - Guyuran hujan di pagi hari tidak menyurutkan langkah sekelompok orang untuk mengenang kembali memori gempa 2006 yang berpusat di Sesar Opak, Piyungan, Bantul, Minggu 26 Oktober 2025.

Nunik Dwi Andriyanti, 35 tahun, seorang geolog lulusan Institut Teknologi Bandung, memimpin rombongan wisata trekking geologi tersebut.

Bersama Tribun Jogja, sekitar enam peserta dengan beragam latar belakang mulai dari ahli gunung api, karyawan swasta, hingga staf universitas, tampak siap menjelajah dengan jas hujan masing-masing.

Titik penjelajahan pertama dimulai dari tepi Sungai Batu Kapal yang memperlihatkan bentang alam bebatuan berlapis-lapis.

Dari sana, rombongan melintasi permukiman, jembatan, dan pematang sawah menuju destinasi akhir yaitu objek wisata Lava Bantal Berbah.

Sepanjang perjalanan, perempuan yang akrab disapa Yanti itu menjelaskan kondisi geologi Sesar Opak dengan merujuk pada teori tektonika lempeng.

“Lihat, ini bagian utuh lalu ada patah-patah,” ujar Yanti sambil menunjuk dinding batu di tepi sungai dan mengoperasikan kompas di gawai miliknya.

Ia lalu menjelaskan cara memperkirakan jenis patahan lempeng tektonik di lokasi tersebut.

Di sisi lain, Adi Susanto, seorang ahli gunung api yang turut serta, mengajak peserta mengenali jenis batuan seperti tuff, batu apung, dan breksi.

Ia menjelaskan bahwa batuan-batuan itu merupakan endapan abu vulkanik gunung purba yang membentuk sedimen.

Saat melewati kawasan permukiman, Yanti merekonstruksi terjadinya likuifaksi pada gempa 2006 di sekitar lokasi. Ia menerangkan bahwa patahan air di Sesar Opak menjadi salah satu indikasinya.

“Saat ada patahan, air akan otomatis mencari sela,” tuturnya.

MEMORI GEMPA : Wisata Geotrek Jogja dalam upaya mengenang kembali memori gempa 2006 yang berpusat di Sesar Opak, Piyungan, Bantul, Minggu 26 Oktober 2025.
MEMORI GEMPA : Wisata Geotrek Jogja dalam upaya mengenang kembali memori gempa 2006 yang berpusat di Sesar Opak, Piyungan, Bantul, Minggu 26 Oktober 2025. (Ist)

Kepada Tribun Jogja, Yanti menjelaskan bahwa wisata geologi yang digelar melalui usaha Geotrek Jogja yang ia dirikan merupakan upaya untuk merawat ingatan sekaligus membangun kesadaran mitigasi bencana.

“Aktivitas Sesar Opak tidak hanya menimbulkan guncangan gempa, tetapi juga memicu bencana sekunder seperti likuifaksi di sekitar aliran sungai. Kini wilayah ini kembali dipadati bangunan dan permukiman, seolah masyarakat lupa bahwa gempa 2006 menelan ribuan korban jiwa,” terang Yanti.

Melalui wisata trekking geologi bertema Sesar Opak ini, lanjut Yanti, masyarakat diajak untuk kembali mengingat keberadaan sesar yang tak tampak di permukaan. Bahwasanya, sesar bisa kembali aktif kapan saja tanpa dapat diprediksi.

Baca juga: Laka Maut Motor vs Mobil di Jalan Nasional Wates-Purworejo Wilayah Kulon Progo

Salah seorang peserta, Wiwit Mulyani, staf di ISI Yogyakarta, mengaku tergugah dengan pengalaman bersama Geotrek Jogja.

“Momen itu membuat saya lebih memahami bagaimana proses alam bekerja dalam waktu yang sangat panjang, sekaligus menumbuhkan rasa kagum akan kekuatan alam dan pentingnya geologi,” ujar Wiwit.

Sejarah Geotrek Jogja

Alfian Widiantono, 40 tahun, atau akrab disapa Aan, suami Yanti sekaligus pendiri Geotrek Jogja, menuturkan perjalanan mereka dalam memperkenalkan geologi kepada masyarakat luas.

Komunitas ini lahir pada April 2025, berawal dari kecintaan pasangan tersebut terhadap geologi dan seni bercerita. Yanti yang merupakan lulusan geologi ITB menikah dengan Aan, lulusan teknik fisika UGM yang memiliki minat pada jurnalisme fotografi, pada tahun 2014.

Setelah pulang kampung ke Yogyakarta pada 2018, keduanya melihat potensi wisata geologi seperti yang dijalankan komunitas Geotrek Mata Bumi di Bandung.

Menurut Aan, Geotrek Jogja hadir untuk menjawab keresahan terhadap terbatasnya komunikasi sains di masyarakat.

“Ada keresahan melihat data penelitian dan informasi akademis hanya berhenti di jurnal, laporan, atau perpustakaan, tidak sampai ke masyarakat,” tutur Aan.

Ia menilai geologi sangat penting untuk dipahami secara sederhana. Geologi, katanya, sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, mulai dari arah mata angin, fondasi rumah, hingga batu ulekan di dapur.

“Semakin kita mengenal kondisi lingkungan tempat kita tinggal, semakin kita sadar dan mampu beradaptasi. Tujuannya bukan untuk menakut-nakuti, melainkan agar kita sadar bahwa kita hidup di tengah kondisi bumi yang dinamis,” pungkas Aan.  (MG Sofia Natalia Zebua) 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved