Batik Tak Sekadar Kain: Cerita Tentang Nilai, Proses, dan Tanggung Jawab Generasi Z

Suatu hari ia mendengar ibunya ingin memakai kain batik, tetapi neneknya melarang karena kain itu dianggap terlalu mahal.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
Forum “Kajian Seni dan Masyarakat” di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Jumat (31/10/2025). 

TRIBUNJOGJA.COM - Batik bukan sekadar kain, melainkan cerita panjang tentang kesabaran, ketelitian, dan nilai kehidupan. 

Pandangan itu disampaikan Marsha Widodo, seorang anak muda penggiat budaya, dalam forum “Kajian Seni dan Masyarakat” yang digelar Program Doktor Kajian Seni dan Masyarakat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jumat (31/10/2025).

“Saya bersekolah di sekolah internasional. Dalam setahun, saya hanya memakai batik empat kali—saat Hari Kemerdekaan, Hari Sumpah Pemuda, Hari Batik Nasional, dan Hari Internasional di sekolah. Di luar itu, batik hanya tersimpan di lemari, seperti pakaian untuk acara khusus,” ujar siswi Jakarta Intercultural School (JIS) ini.

Kisah sederhana di rumah menjadi awal ketertarikan Marsha terhadap batik. Suatu hari ia mendengar ibunya ingin memakai kain batik, tetapi neneknya melarang karena kain itu dianggap terlalu mahal. 

“Saya bertanya-tanya, kenapa bisa mahal? Apa yang membuat satu kain batik berbeda dari yang lain? Dari situ saya mulai mencari tahu, dan ternyata keindahan batik bukan hanya pada hasil akhirnya, tapi juga pada proses panjang dan rumit di baliknya,” tutur Marsha.

Marsha menegaskan bahwa batik sejatinya bukan produk, melainkan warisan pengetahuan. Ia mengingatkan pengakuan UNESCO tahun 2009 yang menetapkan batik sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia—sebuah pengakuan yang menekankan pentingnya menjaga teknik dan nilai-nilai di balik pembuatannya.

“Mulai dari pewarnaan, perebusan, penggunaan canting, hingga penyusunan motif—semuanya adalah perjalanan panjang yang mengajarkan kesabaran, fokus, ketekunan, dan kerendahan hati. Nilai-nilai ini penting untuk dipahami oleh generasi saya,” ucapnya.

Dalam paparannya, Marsha membandingkan batik dengan warisan tekstil dunia lain yang juga diakui UNESCO. Ia mencontohkan kain Kente dari Ghana, renda Slovenia, dan sulaman Chakan dari Tajikistan. Ketiganya, kata dia, menunjukkan bahwa nilai sebuah kain tidak terletak pada wujud akhirnya, melainkan pada pengetahuan dan kisah yang diwariskan melalui prosesnya.

Marsha menilai generasinya memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keberlanjutan batik. Ia mengutip data bahwa sekitar 27 persen populasi Indonesia merupakan generasi Z, atau sekitar 74 juta jiwa. “Kita adalah jembatan antara generasi lama dan generasi baru. Di tangan kita, batik bisa terus hidup atau justru berhenti menjadi sekadar pakaian upacara,” katanya.

Menurutnya, tantangan terbesar generasi muda bukan pada kemampuan teknis, tetapi pada kesediaan untuk mendengar dan memahami makna. “Kita hidup di era digital yang serba cepat. Kadang kita larut dalam teknologi dan lupa menoleh ke masa lalu. Padahal di cerita masa lalu itu identitas kita hidup,” ujarnya.

Dalam keluarga Tionghoanya, Marsha tumbuh di antara kain batik bermotif hewan dan bunga. Ia baru memahami maknanya setelah bertanya kepada sang nenek. “Setiap warna, garis, dan bentuk punya cerita asal-usul. Dari situ saya sadar, batik bukan sekadar kain indah, tapi jejak sejarah dan pertemuan budaya,” katanya.

Kesadaran itu kemudian ia tuangkan dalam tulisan di majalah sekolah internasional tempatnya belajar. Artikel tersebut menjadi sarana untuk memperkenalkan batik kepada teman-teman sebayanya. “Saya menulis tentang batik dengan pengaruh Arab, Tionghoa, dan Belanda. Mereka jadi tahu bahwa batik adalah hasil pertemuan lintas budaya yang panjang,” ungkapnya.

Bagi Marsha, pelestarian batik tak cukup dengan mengenakannya. Generasi muda, katanya, bisa berperan dengan langkah-langkah konkret: menghargai pembuatnya, mengenal kisah di balik motif, berkolaborasi lintas generasi, membeli dengan kesadaran, dan mendukung keberlanjutan produksi.

“Harga yang mahal sering kali mencerminkan proses panjang dan keterampilan tinggi. Menghargai itu berarti berinvestasi dalam budaya kita sendiri,” tegasnya.

Ia juga mengajak generasi muda untuk menggunakan media sosial sebagai ruang edukasi budaya. “Gunakan ruang digital bukan untuk menjauh, tapi untuk menyebarkan pengetahuan. Buat konten, tulis artikel, adakan lokakarya lintas generasi,” tambahnya.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved