Fenomena 'AI-Relationship', Saat Gen Z Lebih Nyaman Berteman dan Curhat ke ChatGPT 

Fenomena baru yang menarik sekaligus mengkhawatirkan kini merebak di kalangan Generasi Z, yakni terkait maraknya AI-Relationship.

Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUN JOGJA/AZKA RAMADHAN
Agenda Ngobrol Gayenk memaknai Hari Sumpah Pemuda 2025 bertajuk 'Gen Z dan AI: Cerdas dan Hore Hore' yang digelar PSEB UKDW dan Perhimpunan Warga Pancasila, Selasa (28/10/2025). 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sebuah fenomena baru yang menarik sekaligus mengkhawatirkan kini merebak di kalangan Generasi Z, yakni terkait maraknya AI-Relationship.

Mereka tak lagi hanya menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk mengerjakan tugas, tetapi sudah menjadikannya teman curhat, bahkan menjalin hubungan emosional yang personal.

Fakta mengejutkan ini menjadi sorotan dalam diskusi 'Ngobrol Gayenk' bertajuk 'Gen Z dan AI: Cerdas dan Hore Hore' di Kampus Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Kota Yogyakarta, Selasa (28/10/2025).

Realitas ini dibenarkan langsung oleh perwakilan Gen Z sekaligus pemerhati AI yang hadir, Holly Aulia.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII itu mengungkap fakta di lingkarannya, di mana AI telah merangsek jauh ke ruang privat.

"Sekarang banyak teman merasa lebih nyaman curhat ke ChatGPT. Kadang mereka merasa mendapat solusi dari sana,  sampai ada yang memberi nama dan menganggapnya sebagai teman baik," ungkapnya, di sela acara yang digelar untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda 2025 itu.

Sosiolog UGM, Prof Heru Nugroho. pun membedah fenomena ini sebagai tanda perubahan besar dalam pola pikir.

Lebih jauh, ia menyebut generasi saat ini sebagai 'generasi algoritma digital' yang hidup dalam orde kekuasaan algoritma.

"Kalau dulu saya bertanya ke orang ketika ingin beli bakso, sekarang generasi ini tanyanya ya ke ponsel. Orde kekuasaan sekarang adalah algoritma," paparnya.

Ia menyoroti fenomena hubungan manusia dan kecerdasan buatan itu dengan sebutan 'AI-lationship', yang menjadi suatu penanda ketergantungan yang sudah seharusnya perlu diwaspadai bersama.

"Sekarang ada yang curhat ke AI, bahkan pamit ke ChatGPT. Ini menarik, tapi juga tanda ketergantungan. AI cenderung menjawab bagaimana, bukan mengapa. Kalau kita hanya bertanya bagaimana, kita akan terjebak dalam logika mesin," jelasnya.

Prof Heru mengingatkan bahwa AI bukanlah pengganti manusia.

Bagaimanapun, kreativitas dan kesadaran kritis menjadi kunci supaya manusia tidak terperangkap.

Menghadapi gempuran ini, para akademisi menyerukan pentingnya benteng pertahanan.

Prof Sugeng Bayu Wahyono, dari Perhimpunan Warga Pancasila menegaskan, literasi adalah jawabannya.

"Pada era AI seperti ini, kemampuan membaca tetap penting. Membaca itu menumbuhkan daya pikir kritis yang tidak bisa digantikan oleh mesin. Ini harus terus digalakkan," katanya.

Sementara, Rektor UKDW, Dr. Wiyatiningsih, menyoroti tantangan ini dari sisi dunia pendidikan. Ia mengakui banyak profesi beralih akibat digitalisasi, sehingga kurikulum harus terus diperbaharui.

Dirinya menekankan, bahwa pemanfaatan teknologi harus tetap berpijak pada nilai-nilai luhur, dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah yang ada.

"Kami mengembangkan program pelatihan mahasiswa yang berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan dan karakter. AI bisa berjalan seiring, bukan menggantikan nilai kemanusiaan," tandasnya. (*)

 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved