Jeritan Buruh di Yogyakarta
Buruh DIY Tuntut UMP 2026 Naik 50 Persen, Ini Tanggapan Pemda DIY
Perhitungan KHL tidak bisa dilakukan secara sepihak karena harus mengikuti kaidah dan metodologi yang ditetapkan secara nasional.
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pemerintah Daerah (Pemda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memahami desakan serikat buruh agar Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 naik hingga 50 persen.
Namun, Asisten Sekretariat Daerah DIY Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Tri Saktiyana, menegaskan bahwa perhitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang menjadi dasar tuntutan buruh berbeda dengan metodologi resmi yang digunakan pemerintah.
Tri menjelaskan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap aspirasi pekerja yang merasa upah saat ini belum memenuhi kebutuhan hidup layak.
Namun, menurutnya, perhitungan KHL tidak bisa dilakukan secara sepihak karena harus mengikuti kaidah dan metodologi yang ditetapkan secara nasional.
“Kami bisa memahami logika ketika KHL yang dihitung oleh teman-teman buruh menghasilkan angka tertentu — misalnya sampai lebih dari 50 persen. Itu muncul karena memang didasarkan pada perhitungan kebutuhan hidup layak versi mereka,” ujar Tri Saktiyana ditemui usai menerima audiensi perwakilan buruh yang tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Kompleks Kepatihan, Selasa (14/10/2025).
“Namun dari pihak pemerintah, bersama BPS dan instansi terkait, kami menghitung kebutuhan hidup layak dengan metodologi yang lebih baku. Misalnya, harga bahan pokok seperti bawang merah atau beras di tiap pasar bisa berbeda-beda. Jadi, perhitungan inflasi dan KHL itu memang ada metodenya sendiri.”
Ia menambahkan, penetapan UMP setiap tahun selalu mengikuti pedoman dari pemerintah pusat yang memuat formula baru untuk menghitung besaran kenaikan.
Formula itu mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan produktivitas.
“Selalu ada dinamika dan perubahan dari tahun ke tahun. Kami memahami bahwa meskipun secara persentase kenaikan upah di DIY mungkin terlihat besar, karena nilai awalnya rendah, hasil akhirnya tetap belum tinggi dibandingkan daerah lain,” kata Tri.
“Misalnya di Karawang, upahnya hampir Rp4,5 juta. Jadi meskipun DIY menaikkan 25 persen, hasilnya tetap belum bisa menyamai daerah tersebut.”
Menurut Tri, pemerintah daerah harus berhati-hati dalam menentukan besaran upah agar tidak menimbulkan ketimpangan antara kepentingan buruh dan pelaku usaha.
“Ini yang perlu dipahami bersama — bahwa kita juga harus menyeimbangkan antara kepentingan pengusaha dan kepentingan pekerja,” ujarnya.
“Jangan sampai iklim usaha di DIY menjadi turun karena beban upah yang terlalu tinggi. Pemerintah berada di tengah, berperan sebagai penyeimbang antara dua kepentingan tersebut.”
Meski demikian, Tri menegaskan bahwa hasil survei KHL yang dilakukan serikat buruh tetap menjadi bahan pertimbangan penting dalam penyusunan kebijakan upah.
Namun, hasil tersebut tidak bisa menjadi satu-satunya dasar karena bersifat subjektif dan perlu dikaji bersama data resmi.
Buruh DIY Desak Penetapan UMK 2026 Berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak |
![]() |
---|
Buruh DIY Desak Kenaikan Upah Minimum 2026 Berkisar Rp3,6 Juta–Rp4,5 Juta |
![]() |
---|
Penataan Sumbu Filosofi, Ekonomi PKL Area Parkir Malioboro Justru Mati Suri di Eks Menara Kopi |
![]() |
---|
Sowan Sri Sultan HB X, Bupati Batang Gali Jejak Sejarah Keterkaitan dengan Kasultanan Yogyakarta |
![]() |
---|
TPAKD DIY Raih Penghargaan Nasional, Sri Sultan Tekankan Akuntabilitas jadi Fondasi Kebijakan Publik |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.