Kemenag Gunungkidul Pastikan Seluruh Ponpes Sudah Kantongi Izin PBG

Mukotip menambahkan bahwa mekanisme perizinan pendirian pesantren selama ini sudah berjalan secara berlapis dan terintegrasi.

Penulis: Nanda Sagita Ginting | Editor: Yoseph Hary W
istimewa
Bangunan baru DPRD Kabupaten Gunungkidul. Ketua DPRD Gunungkidul, Endang Sri Sumiyartini, menekankan pentingnya pengawasan yang tidak hanya ketat di awal proses perizinan pembangunan pesantren, tetapi juga berkelanjutan setelah izin diterbitkan. 

Laporan Reporter Tribun Jogja Nanda Sagita Ginting 

TRIBUNJOGJA.COM, GUNUNGKIDUL - Kantor Kementerian Agama (Kankemenag) Gunungkidul memastikan sebanyak 47 pesantren di wilayahnya telah mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG)

Kepala Kankemenag Gunungkidul, Mukotip, menyatakan bahwa izin PBG hanya diberikan kepada pondok pesantren (Ponpes) yang memiliki sarana dan prasarana ramah anak, aman, dan nyaman.

 “Alhamdulillah, semua Ponpes sudah memiliki izin pembangunan. Pesantren yang ingin membangun tidak boleh sembarangan. Semua harus melalui prosedur resmi, mulai dari pengajuan ke Kemenag, verifikasi, hingga perizinan teknis dari PUPR dan lembaga terkait lainnya,” ujarnya saat dikonfirmasi pada Kamis (8/10/2025).

Mukotip menambahkan bahwa mekanisme perizinan pendirian pesantren selama ini sudah berjalan secara berlapis dan terintegrasi. Pengurus pesantren mengajukan ke Kemenag Kabupaten, lalu diteruskan ke Kanwil dan pusat untuk diverifikasi. Setelah seluruh syarat terpenuhi, izin baru diterbitkan secara resmi.

“Dengan mekanisme ini, seluruh proses pembangunan pesantren terpantau dari hulu ke hilir. Kami ingin memastikan bahwa pesantren menjadi tempat belajar yang aman dan layak bagi para santri," paparnya.

Selain persyaratan teknis bangunan, kata dia,  pondok pesantren juga wajib memenuhi persyaratan lain mulai dari memiliki minimal 15 santri aktif, kurikulum yang sesuai standar negara dan kepesantrenan, serta tidak mengandung unsur radikalisme atau intoleransi. Mukotip juga menegaskan bahwa keberadaan kyai atau pengasuh yang bertanggung jawab menjadi syarat mutlak pengajuan izin.

"Jadi, semua syarat ini harus ada. Kalau salah satunya tidak dilengkapi maka izin tidak akan keluar," ungkapnya.

Ia menyebut mayoritas bangunan pesantren di Gunungkidul, tidak ada yang menjulang tinggi,  sehingga relatif aman dari risiko struktural.

Meski begitu, Kemenag tetap mengimbau agar setiap pembangunan baru wajib berkonsultasi dengan konsultan teknis profesional, bukan sekadar mengandalkan tukang bangunan biasa.

Pembangunan pesantren yang tidak melalui proses perizinan resmi berpotensi menimbulkan risiko keselamatan, terutama jika bangunan tidak dirancang dengan perhitungan konstruksi yang tepat. 

"Karena itu, kami mengimbau agar pengelola pesantren tidak hanya fokus pada pembangunan cepat, tetapi mengedepankan standar teknis dan konsultasi dengan ahli konstruksi. Kami tidak ingin ada kasus bangunan pesantren roboh karena dibangun tanpa perencanaan matang. Pesantren adalah rumah kedua bagi santri, sehingga keselamatan mereka menjadi prioritas utama,” kata Mukotip.

Menanggapi hal tersebut, Ketua DPRD Gunungkidul, Endang Sri Sumiyartini, menekankan pentingnya pengawasan yang tidak hanya ketat di awal proses perizinan, tetapi juga berkelanjutan setelah izin diterbitkan. Menurutnya, izin PBG bukan akhir dari kewajiban, melainkan awal dari komitmen menjaga keselamatan dan kelayakan sarana pendidikan.

“Pemerintah tidak boleh hanya memberi izin lalu melepas begitu saja. Harus ada pengawasan berkala agar fasilitas pesantren tetap sesuai standar dan tidak membahayakan santri. DPRD siap mendorong penguatan regulasi pengawasan ini,” ujarnya.

Endang juga menyatakan bahwa pemerintah daerah perlu memberikan pendampingan teknis kepada pesantren yang memiliki keterbatasan anggaran. Ia menilai beberapa pesantren kecil kerap mengalami kesulitan dalam melengkapi dokumen teknis dan konsultasi konstruksi karena keterbatasan sumber daya.

“Jangan sampai pesantren yang niatnya ingin tertib administrasi justru terhambat karena persoalan teknis dan biaya. Harus ada peran negara untuk mendampingi, bukan hanya mengawasi. Jika pendampingan ini berjalan, maka ketertiban perizinan dan keamanan bangunan bisa tercapai tanpa membebani pesantren,” pungkasnya (ndg)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved