PSKP UGM: Demonstrasi Bukan Respons Spontan tapi Lahir dari Tekanan Publik

Tindakan represif aparat sebagai salah satu faktor yang memperbesar emosi massa dan menciptakan lingkaran kemarahan yang sulit dikendalikan

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Tribun Jogja/ Neti Istimewa Rukmana
AKSI - Ratusan mahasiswa di DIY sedang melakukan aksi dan memberikan orasi dalam aksi damai, di Bundaran UGM, Senin (1/9/2025). 

Ia juga menilai bahwa sejumlah tuntutan masyarakat yang muncul telah berhasil membingkai gerakan agar lebih jelas arahnya, meski pemerintah sejauh ini belum sepenuhnya merespons dengan substansial. 

“Apa yang ditunjukkan saat aksi damai di Yogyakarta pada Senin lalu mencerminkan bagaimana masyarakat tetap bisa kritis dan menyuarakan pendapat dengan cara bermartabat, dan ini bisa menjadi role model bagi bangsa,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Alfath menyebut ada kegagalan reformasi kepolisian pascareformasi yang membuat institusi ini masih rentan dipolitisasi. 

Ia menyoroti bagaimana polisi dalam satu dekade terakhir kerap digunakan sebagai instrumen politik, sehingga tidak sepenuhnya menjalankan fungsi perlindungan masyarakat. 

Menurutnya, dalam kondisi ekonomi yang semakin menekan, paradoks antara hidup sederhana masyarakat dengan fasilitas pejabat memperbesar jurang ketidakpercayaan.

“Negara telah gagal melindungi masyarakat, sehingga kemarahan publik muncul sebagai bentuk akumulasi kekecewaan atas kebijakan yang regresif,” ujarnya.

Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Prof. Dr. Faturochman, menyoroti dimensi psikologis dari keterlibatan generasi muda dalam aksi unjuk rasa

Ia menilai partisipasi mahasiswa dan Gen Z muncul karena rasa kecewa yang menumpuk, bukan sekadar mengikuti tren atau rasa takut tertinggal. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa kaum muda tidak apatis, melainkan memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu keadilan sosial. 

Kondisi tersebut memperlihatkan adanya kebutuhan besar untuk kanal partisipasi yang sehat agar energi kolektif mereka tidak tereduksi menjadi kemarahan semata. 

Tekanan sosial yang dialami generasi ini, baik karena faktor ekonomi maupun hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah, membuat aksi di jalan menjadi saluran yang dianggap wajar.

“Ketika orang kecewa dan tidak ada tanda-tanda perubahan, maka kesesakan itu akan melahirkan perlawanan, dan ini adalah reaksi yang wajar dalam kehidupan sosial kita,” tuturnya.

Faturochman menambahkan bahwa relasi antara pemimpin dan rakyat harus dibangun di atas penghormatan, bukan sekadar empati sesaat.

Ia mengingatkan bahwa masyarakat bukan objek pasif, melainkan aset bangsa yang perlu dihargai agar kepercayaan tetap terjaga.

Ia menegaskan bahwa ketika potensi masyarakat diabaikan, maka kepercayaan publik akan runtuh, dan kondisi ini berbahaya bagi stabilitas jangka panjang.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved