PSKP UGM: Demonstrasi Bukan Respons Spontan tapi Lahir dari Tekanan Publik
Tindakan represif aparat sebagai salah satu faktor yang memperbesar emosi massa dan menciptakan lingkaran kemarahan yang sulit dikendalikan
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Gelombang aksi mahasiswa dan masyarakat sipil terjadi dalam beberapa pekan terakhir.
Mereka menyuarakan sejumlah tuntutan, baik yang bersifat jangka pendek seperti pembahasan RUU perampasan aset maupun jangka panjang menyangkut perbaikan sistem demokrasi dan ekonomi nasional.
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM, Achmad Munjid mengatakan aksi demonstrasi yang marak di berbagai daerah tidak bisa dipahami hanya sebagai respons spontan, tetapi lahir dari kondisi sosial yang sudah lama menekan publik.
Sejak pandemi, masyarakat menghadapi beban ekonomi yang semakin berat, ditambah dengan kebijakan yang seringkali tidak berpihak pada rakyat.
Namun tindakan represif aparat sebagai salah satu faktor yang memperbesar emosi massa dan menciptakan lingkaran kemarahan yang sulit dikendalikan.
“Tindakan represif berlebihan hanya akan menambah amarah publik, karena pada dasarnya kemarahan masyarakat saat ini dipicu kondisi sosial ekonomi yang makin berat, bukan sekadar isu tunggal,” kata dia dalam Diskusi Pojok Bulaksumur yang bertajuk ‘Antara Hak Bersuara dan Stabilitas Bangsa: Menelaah Demonstrasi Indonesia Terkini’, Kamis (4/9/2025) di Selasar Tengah Gedung Pusat UGM.
Munjid menyoroti jarak antara rakyat dan para wakilnya di parlemen yang semakin jauh.
Ia menekankan bahwa diskoneksi ini membuat aspirasi publik seolah tidak pernah terhubung dengan proses politik formal.
Menurutnya, kondisi ini semakin diperparah oleh partai politik yang belum menjalani reformasi pascareformasi 1998, sehingga fungsinya kerap hanya berputar di lingkaran elit.
Ia mengingatkan bahwa tanpa tekanan publik, kebijakan yang lahir dari lembaga politik akan cenderung mengabaikan kebutuhan masyarakat.
Dalam kondisi demikian, ia menilai kampus dan media memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga suara kritis agar tetap terdengar.
“Kalau kekuasaan tidak dipaksa dan dikontrol secara efektif, ia hanya akan bekerja untuk dirinya sendiri, bukan untuk rakyat,” jelasnya.
Sementara Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, menilai pola demonstrasi yang terjadi belakangan berbeda dengan satu dekade lalu.
Menurutnya, peran influencer di media sosial semakin dominan dalam mendorong massa untuk turun ke jalan, menggantikan peran yang dahulu lebih banyak dimainkan organisasi mahasiswa atau aktivis.
Cuitan Hangeul Netizen Indonesia Viral Masuk Berita Korea, Demo Indo Didukung Knetz |
![]() |
---|
Nyala Lilin untuk Para Korban Gugur saat Demo Perlawanan Rakyat di Seluruh Indonesia |
![]() |
---|
Ekonom UGM Sebut UKM Paling Terdampak Imbas Demo Besar-besaran, Omzet Harian Hilang |
![]() |
---|
Mahfud MD: Kalau Ada Makar, Tangkap Saja Sesuai Hukum |
![]() |
---|
Mahfud MD Sebut Rangkaian Demo Akumulasi Kekecewaan: Negara Tak Bisa Diurus seperti Warung Kopi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.