Bunyi "kendang-kendang berdendang" dan larutnya malam dalam "gelas fantasi" menciptakan atmosfer pesta dan pembebasan diri, di mana "wanita pengumpul kayu bakar itu / terus saja menari menyalakan birahi."
Puncak dari kehancuran terjadi ketika "nyala berkobar / membakar rumah-rumah / membakar tangga-tangga.
" Api birahi dan pemberontakan tidak hanya menghancurkan keluarga, tetapi juga tatanan sosial yang lebih luas ("rumah-rumah," "tangga-tangga").
Di tengah panorama kehancuran ini, muncul reaksi yang ambigu dan mengerikan: "atas segala panorama itu / dia tertawa-tawa / hingga gila." Tawa yang berujung pada kegilaan bisa diinterpretasikan sebagai luapan emosi yang tak terkendali akibat penindasan atau sebagai bentuk kemenangan yang pahit dan merusak diri sendiri.
Di balik topeng kesucian dan pengendalian diri ("manusia puasa," "manusia bertapa diri"), tersembunyi potensi ledakan emosi dan keinginan yang destruktif.
Sosok wanita dalam puisi ini menjadi simbol pemberontakan terhadap sistem yang mungkin menindas atau mengekang ekspresi dirinya, dan tindakannya, meskipun mengerikan, adalah konsekuensi dari tekanan yang dialaminya.
Puisi ini juga menyentuh tema kekuatan kata-kata yang mampu menghancurkan lebih dahsyat daripada tindakan fisik, serta kompleksitas seksualitas dan pemberontakan perempuan dalam konteks sosial yang represif. (MG Ni Komang Putri Sawitri Ratna Duhita)