Puisi

Makna Puisi Wanita Pengumpul Kayu Bakar Karya Abdul Wachid BS, Kritik Kemunafikan Moral dan Hasrat

Penulis: Tribun Jogja
Editor: Joko Widiyarso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi wanita sedih.


atas segala panorama itu

dia tertawa-tawa

hingga gila.

 

Makna “Wanita Pengumpul Kayu Bakar” 

Puisi ini menyajikan sebuah alegori yang kuat dan provokatif tentang perempuan dan kekuasaan, serta potensi destruktif dari hasrat yang terpendam di tengah kepura-puraan moral. 

Latar "manusia puasa" dan "manusia bertapa diri" menciptakan ironi, di mana di tengah pengekangan diri dan spiritualitas yang tampak, muncul tindakan subversif dan penuh nafsu dari sosok "wanita itu." 

Tindakan mengumpulkan kayu bakar dan memantik api, yang seharusnya simbol kehidupan dan kehangatan, justru menjadi awal dari kehancuran.

"Nyala berkobar / membakar rumah suami dan anaknya / tidak dengan api / tetapi kata-kata belati" merupakan inti dari paradoks puisi ini. 

Kekuatan destruktif wanita itu bukanlah fisik, melainkan verbal dan emosional. 

"Kata-kata belati" menyiratkan betapa tajam dan menyakitkannya ucapan yang dilontarkan, mampu menghancurkan fondasi keluarga. 

Tindakan membiarkan pakaian "berkobaran sampai-sampai / terlihat betapa wanita itu berlemak / bagai ular mematuk dalam semak" mengandung unsur pemberontakan terhadap norma dan eksploitasi tubuh. 

Lemak yang biasanya disembunyikan kini dipertontonkan, dan perbandingan dengan ular yang mematuk menambah kesan bahaya dan kebuasan yang tersembunyi.

Bait selanjutnya semakin mempertegas pemberontakan seksual dan hasrat yang selama ini mungkin dipendam. 

Kaki yang "gemerincing," rambut yang "gelisah," dan angan tentang "beberapa pria" serta "tarian perut yang gendut" adalah simbol-simbol kebebasan dan pemenuhan keinginan duniawi yang bertentangan dengan suasana puasa dan pertapaan. 

Halaman
1234

Berita Terkini