TRIBUNJOGJA.COM - Abdul Wachid B.S. kerap menulis puisi tentang kedalaman spiritualitas dengan penggunaan bahasa yang sederhana namun kaya akan makna simbolik, serta eksplorasi tema-tema kemanusiaan, cinta, dan religiusitas.
Puisinya seringkali mengandung refleksi filosofis tentang eksistensi, hubungan antara manusia dan Tuhan, serta pergulatan batin.
Ia juga dikenal dengan gaya bahasa yang liris dan imajinatif, mampu menciptakan suasana yang khusyuk dan kontemplatif bagi pembacanya.
Hal ini dapat dilihat pada puisinya yang berjudul “Wanita Pengumpul Kayu Bakar”.
Puisi ini dimaknai sebagai kritik terhadap kemunafikan moral dan pengekangan hasrat yang berlebihan.
Berikut isi dan makna puisi “Wanita Pengumpul Kayu Bakar”:
Isi Puisi “Wanita Pengumpul Kayu Bakar”
ketika manusia puasa
wanita itu ngumpulkan kayu bakar
saat manusia bertapa diri
wanita itu memantik api
hingga nyala berkobar
membakar rumah suami dan anaknya
tidak dengan api
tetapi kata-kata belati
dia biarkan pakaian
berkobaran sampai-sampai
terlihat betapa wanita itu berlemak
bagai ular mematuk dalam semak
dia biarkan kaki-kakinya gemerincing
dia urai rambutnya yang gelisah
dia angankan beberapa pria
inginkan tarian perut yang gendut
kendang-kendang berdendang
malam tambah larut dalam gelas fantasi
wanita pengumpul kayu bakar itu
terus saja menari menyalakan birahi
hingga nyala berkobar
membakar rumah-rumah
membakar tangga-tangga
atas segala panorama itu
dia tertawa-tawa
hingga gila.
Makna “Wanita Pengumpul Kayu Bakar”
Puisi ini menyajikan sebuah alegori yang kuat dan provokatif tentang perempuan dan kekuasaan, serta potensi destruktif dari hasrat yang terpendam di tengah kepura-puraan moral.
Latar "manusia puasa" dan "manusia bertapa diri" menciptakan ironi, di mana di tengah pengekangan diri dan spiritualitas yang tampak, muncul tindakan subversif dan penuh nafsu dari sosok "wanita itu."
Tindakan mengumpulkan kayu bakar dan memantik api, yang seharusnya simbol kehidupan dan kehangatan, justru menjadi awal dari kehancuran.
"Nyala berkobar / membakar rumah suami dan anaknya / tidak dengan api / tetapi kata-kata belati" merupakan inti dari paradoks puisi ini.
Kekuatan destruktif wanita itu bukanlah fisik, melainkan verbal dan emosional.
"Kata-kata belati" menyiratkan betapa tajam dan menyakitkannya ucapan yang dilontarkan, mampu menghancurkan fondasi keluarga.
Tindakan membiarkan pakaian "berkobaran sampai-sampai / terlihat betapa wanita itu berlemak / bagai ular mematuk dalam semak" mengandung unsur pemberontakan terhadap norma dan eksploitasi tubuh.
Lemak yang biasanya disembunyikan kini dipertontonkan, dan perbandingan dengan ular yang mematuk menambah kesan bahaya dan kebuasan yang tersembunyi.
Bait selanjutnya semakin mempertegas pemberontakan seksual dan hasrat yang selama ini mungkin dipendam.
Kaki yang "gemerincing," rambut yang "gelisah," dan angan tentang "beberapa pria" serta "tarian perut yang gendut" adalah simbol-simbol kebebasan dan pemenuhan keinginan duniawi yang bertentangan dengan suasana puasa dan pertapaan.
Bunyi "kendang-kendang berdendang" dan larutnya malam dalam "gelas fantasi" menciptakan atmosfer pesta dan pembebasan diri, di mana "wanita pengumpul kayu bakar itu / terus saja menari menyalakan birahi."
Puncak dari kehancuran terjadi ketika "nyala berkobar / membakar rumah-rumah / membakar tangga-tangga.
" Api birahi dan pemberontakan tidak hanya menghancurkan keluarga, tetapi juga tatanan sosial yang lebih luas ("rumah-rumah," "tangga-tangga").
Di tengah panorama kehancuran ini, muncul reaksi yang ambigu dan mengerikan: "atas segala panorama itu / dia tertawa-tawa / hingga gila." Tawa yang berujung pada kegilaan bisa diinterpretasikan sebagai luapan emosi yang tak terkendali akibat penindasan atau sebagai bentuk kemenangan yang pahit dan merusak diri sendiri.
Di balik topeng kesucian dan pengendalian diri ("manusia puasa," "manusia bertapa diri"), tersembunyi potensi ledakan emosi dan keinginan yang destruktif.
Sosok wanita dalam puisi ini menjadi simbol pemberontakan terhadap sistem yang mungkin menindas atau mengekang ekspresi dirinya, dan tindakannya, meskipun mengerikan, adalah konsekuensi dari tekanan yang dialaminya.
Puisi ini juga menyentuh tema kekuatan kata-kata yang mampu menghancurkan lebih dahsyat daripada tindakan fisik, serta kompleksitas seksualitas dan pemberontakan perempuan dalam konteks sosial yang represif. (MG Ni Komang Putri Sawitri Ratna Duhita)